SEPULUH

1.5K 134 12
                                    

Semua murid yang ada di kelas lekas keluar dengan membawa tasnya. Kini sudah waktu untuk pulang.

Kini Maya baru saja keluar dari kelasnya. Alvaro sudah lebih dulu pergi keluar, katanya Alvaro akan menunggunya di parkiran.

"May."

Maya membalikkan badannya, di sana ada Sinta dan Rassya yang memanggilnya. Maya tersenyum kecil.

"Gue udah baik-baik aja, kok. Gue duluan ya. Sampai jumpa besok."

Sinta dan Rassya hanya diam menatap kepergian Maya yang semakin jauh.

Rassya menangis tanpa air mata. Sedikit lebay. "Huwaaa ... kita nggak ada salah apa-apa kan pada Maya? Maya kok nggak kaya dulu?"

Sinta melingkarkan lengannya di bahu Rassya. "Mood Maya cuman nggak baik hari ini makanya gini. Besok juga dia pasti kayak biasa."

Rassya hanya mengangguk-angguk.

****

Kini Maya masih berjalan di koridor, di sekitar masih ada banyak orang-orang yang pulang bergesak-gesakan. Maya menghela napas kasar. Kenapa di depannya sana ada banyak murid yang bergerombolan? Kan memperpanjang waktu untuk ke parkiran.

Maya tetap berjalan, memasuki gerombolan orang-orang yang terdengar heboh meneriaki nama "Martin". Ah, sepertinya Martin dan keempat teman makhluk halusnya itu sedang bersombong diri. Memamerkan ketampanannya pada semua cewek-cewek di sekolah ini.

Sifat Martin tidak pernah akan berubah.

"He."

Maya melototkan matanya, kaget karena tangannya tiba-tiba ditarik kencang oleh seseorang. Yang pasti tangan ini bukan tangan Sinta dan Rassya. Ini tangan cowok!

Maya mendongak ke atas, orang itu membawanya menjauh dari kerumunan para cewek.

Maya menghela napasnya berat. Kenapa harus Martin? Bagaimana dengan para fans-nya yang sedari tadi memuji namanya?

Kemarin Maya sudah pernah digosipin satu sekolah karena ulahnya yang kecentilan pada Alvaro si cupu itu. Sekarang ia akan digosipin lagi karena tangannya ditarik dan dibawa menjauh dari fans-fans-nya. Sepertinya Maya akan dibenci satu sekolah ini. Martin itu terkenal, terkenal karena kegantengan dan yang ada di dirinya. Tidak dengan Alvaro. Jika Maya bersama Alvaro itu tidak masalah. Tapi jika orang yang bersamanya adalah Martin, bisa saja besok di sekolah ia akan ditatap sinis, dibenci, atau bahkan dibully.

Ini sungguh menyiksanya.

"Lepas, Martin!" decak Maya, mencoba untuk melepaskan tangannya dari genggaman Martin. Tapi sayangnya Maya tak terlalu kuat.

"Martin!" protes Maya.

Martin berhenti berjalan. Ia menatap Maya. Maya lekas melepaskan tangannya kasar dari genggaman Martin. "Lo nggak liat? Fans-fans gila lo itu tak suka melihat kita! Apalagi jika kita berdua seperti ini!"

Martin memiringkan kepalanya, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. "Lalu?"

"Please, deh. Kalo mau narik tangan gue jangan kayak gini juga, dooong. Saat lo jalan bareng gue, lo bonceng gue pulang, itu aja gue pernah dengar cacian dan tatapan sinis dari fans gila lo itu! Gimana kalo yang ini lagi? Bisa-bisa hidup gue hancur di sekolah ini!" protes Maya kesal.

Martin mengeluarkan sebelah tangannya dari saku celananya, ia mengusap kepala Maya gemas. "Kan gue bisa lindungin lo."

"Mana bisa!" elak Maya.

"Ya bisa. Gue kan cuman mau lo."

Maya mendesis kesal, ia memutuskan untuk lekas pergi ke parkiran. Alvaro pasti lama menunggunya.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang