Happy Reading😇
Alifa turun dari boncengan ustadzah Hanifah. Kali ini, sahabatnya yang bernama Alika tidak bisa
mengantarnya dikarenakan pulang telat dari kerajaannya. Sementara Alifa tidak bisa menunggu karena ia sebagai perwakilan dari pesantrennya untuk berkerjasama dengan pesantren Daarul Qur'an."Nanti mau di jemput jam berapa, ukhti Alifa?" tanya Ustazah Hanifah.
"Tunggu saya telepon aja, ya ustadzah.
Soalnya saya mau ke gramedia dulu,"
jawab Alifa sambil tersenyum.Ustadzah Hanifah pun mengangguk
dan langsung pulang ke pesantren.
Alifa menatap gedung pesantren yang berdiri sangat sederhana tapi sangat berkelas itu. Mengabaikan gedung itu, Alifa memilih untuk berjalan masuk."Alifa!" seru seseorang dari belakang.
Alifa berhenti dan membalikkan tubuhnya. Menatap Agung yang sedang menatapnya tanpa ekspresi. "Agung!"
"Kamu kok disini? Mau ngapain?" tanya Agung.
"Aku yang jadi perwakilan buat kerjasama dengan pesantren ini, jangan-jangan ini pesantren punya bapak kamu?"
"Begitulah, mau saya antar ketemu kiyai?"
"Baiklah."
Mereka melewati lorong panjang kanan dan kirinya ruangan terbuka. Dan lagi lagi, Alifa jatuh cinta dengan kesejukan tempat ini. Langkah perlahan mereka sampai diruangan bertuliskan K.H Jabir. Dengan mengetuk pintu tiga kali dan mengucapkan salam, pintu kokoh tersebut terbuka menampilkan seorang pria berpeci putih dengan pakaian kokoh dilapisi dengan jas dan celana panjang berwarna hitam.
"Abi maaf, ini ada tamu dari pesantren sebelah," ucap Agung sembari mempersilahkan Alifa untuk masuk.
"Saya Alifa sebagai perwakilan dari pondok pesantren Al Ihya Sumedang
kiyai." Alifa memperkenalkan diri-Nya, ia tidak berani menatap wajah pak kiyai yang sangat dihormati itu."Kamu pantas untuk bersanding
dengan anak saya yang satu ini," ucap Pak Kiyai sembari tersenyum."Maksudnya abi apa?" tanya Agung dengan nada tak suka atas ucapan abinya itu.
"Nanti kalian juga akan tahu."
..................
"Bunda."
"Iya nak."
"Umma izin ya, mau beli seblak di depan gang ada yang jualan."
Umma sedang menghancurkan tahu yang berwarna putih itu di mangkuk plastik. Kedua tangannya sangat lilihai jika menyangkut dengan yang namanya memasakk. Karena memang hobi dia selain membaca novel ialah memasakk.
"Ngga boleh, ini sudah malam. Kan tadi pagi kamu pingsan gara-gara telat makan bukan? Sekarang libur dulu makan seblak nya."
Bundanya sedang sibuk menggoreng tahu crispy. Entah berapa kali anak perempuan nya itu merengek ingin membeli seblak padahal dia abis dinasehati oleh ayahnya masih saja tidak mendengar, masuk ke telinga kanan keluar dari telinga kiri.
"Hehehe, bunda Umma belinya yang sedang aja ngga bakal pedes banget kok. Dan Umma juga ngga bakal lupa sarapan lagi."
"Ngga lupa bukan Ayah kamu bilang apa tadi siang? Mau bunda telepon Ayah biar kesini marahin kamu lagi?"
"Kamu pingsan lagi? Enak ngga pingsan nya? Enak ngga nahan rasa sakitnya? Kalau sakit ngga usah di obati percuma nanti juga bakal nyari penyakit lagi kan? Buang-buang uang aja." Ayahnya menatap tajam Umma. Sang empunya hanya bisa menundukkan kepalanya dan memainkan jari-jari tangannya. Matanya memanas dan cairan bening menggenang dipelupuk matanya. Kesal, marah, sedih dan kasihan semua campur aduk.
"Kamu itu harus nurut apa yang dibilangin orang tua itu demi kamu sendiri bukan demi ayah atau bunda. Kalau dibilangin ngga nurut lagi ngga usah tinggal disini keluar dari rumah ngga usah sekolah juga percuma ayah sekolahin kamu ke perguruan tinggi kalau anaknya ngga nurut sama perkataan orang tuanya."
"Ayah ngga pernah larang kamu mau makan apa aja asal halal dan jangan berlebihan."
"Sudah ayah. Jangan dimarahin terus.
Bukannya tadi Umma sama Zein sudah jelasin semuanya bukan?" Bundanya mengusap punggung suaminya. Menenangkan hati takutnya terjadi hal yang tidak diinginkan. "Udah ya ayah,"
bujuk istrinya."Ayah minta maaf ya. Ayah terlalu sayang sama kamu, nak. Takutnya ada hal yang tidak diinginkan cuman gara-gara hal kecil, jangan diulangi lagi. Ngga usah nangis lagi udah jelek tambah jelek lagi."
"Ihhh. Ayahh!!!"
"Masa mau jadi dokter, dokternya sakit-sakitan yang ada pasiennya pada ngga mau berobat sama kamu."
Umma tertawa mengingat kejadian tadi siang. Umma merasa bersyukur mempunyai ayah seperti Iwan.
"Emang ngga ada tugas dari sekolah? Kalau ngga ada tugas pun kamu belajar biar tambah pintar. Udah taruh aja biar bunda nanti lanjutin."
"Baik bunda."
Rasa syukur kembali ia ucapkan
mempunyai bunda yang sangat perhatian baik dan sabar. Mata sipitnya menatap bundanya yang sedang sibuk membuatkan kopi. Umma tersenyum bahagia dan bangga.Selama Allah masih memberinya umur panjang dan napas
secara percuma. Umma ingin membanggakan kedua orang tuanya dan kakak laki-laki nya, tidak hanya didunia namun di akhirat juga.Umma kembali ke kamarnya. Ia mengambil buku-buku pelajaran untuk membaca, mencatat dan menghafalkan semua yang ada didalam buku.
Dah ya itu aja dulu.
Tunggu partai selanjutnya!!!
See you❤
17 Januari 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Semesta Berucap
Espiritual[ ROMANCE~ SPRITUAL~CHICKLIT] ***** Miftahul, seorang gadis yang terbiasa bersikap sesukanya, kalau kata anak muda sekarang mah bar-bar. Memiliki teman sesosok lelaki idaman yaitu teman masa kecilnya yang bahkan tidak dia sadari kehadiran nya. Ketik...