Ujian Keimanan

148K 14K 8.1K
                                    

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
(QS. Al-Ankabut: 2-3)

Segala persoalan dalam hidup ini sesungguhnya tidak untuk menguji kekuatan dirimu, tetapi menguji seberapa besar kesungguhanmu dalam meminta pertolongan Allah.

— Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah—

****

Setelah berjam-jam diintrogasi dengan berbondong-bondong pertanyaan, aku dimasukkan ke dalam sel tahanan sementara. Hanya ada aku di tempat ini. Sendiri. Pertanyaan yang dilemparkan kepadaku sungguh menyiksa fisik serta psikologisku.

Aku bingung harus apa saat ini. Bahkan adanya aku di tempat ini seperti mimpi. Aku nggak bisa berpikir apa-apa lagi. Semua hal buruk terlintas dalam benakku. Aku takut kalau harus menghabiskan sisa umur di jeruji besi ini. Ya Allah yang Maha Mengetahui, bantu aku menyelesaikan semuanya.

Dengarkan saya! Buktikan kalau kamu nggak salah. Semua kebenaran pasti akan terungkap.

Ruangan seluas 2 kali 3 meter ini cukup membuatku sesak. Namun lebih sesak lagi saat ucapan Sugus terdengar kembali di telingaku. Kata-katanya itu seperti rekaman yang diputar berulang-ulang kali. Terlebih saat melihat ekpresinya yang nampak marah dengan rahang mengeras dan mata yang memerah. Apalagi dengan tangannya sendiri ia menyeretku agar dibawa ke kantor polisi. Ternyata ia sama saja dengan orang-orang di luar sana yang nggak mempercayaiku.

Pandanganku beralih pada telapak tangan kananku yang terbuka tanpa perban. Ia sedikit membengkak. Garis-garis akibat pecutan rotan masih tersisa dan terasa nyeri. Aku buka perban yang ada di tangan kiriku. Keadaannya pun tak lebih baik dengan yang sebelah kanan.

Aku menyatukan mereka. Meremas sekuat mungkin telapak tanganku. Sakitnya terasa hingga setiap sendi tulang. Aku merasakan itu lebih baik, jenis kesakitan yang nyata. Yang jelas-jelas ada bagian tubuhku yang terluka. Dari pada merasakan sakit di bagian dada tanpa aku bisa lihat lukanya seperti apa.

"Syafakillah. Laa ba'sa thahuurun Insya Allah."

"Artinya apa, Gus?"

"Semoga lekas sembuh."

"Hanya itu?"

"Semoga sakitmu ini jadi penggugur dosamu."

"Aamiin."

Masih teringat jelas, sesaat sebelum kami berangkat ke pernikahan Ning Aisyah, Sugus sendiri yang mengganti perbannya. Ia melakukannya dengan sangat telaten. Seperti biasa, setelah ia selesai menutup lukaku itu, sebuah kecupan mendarat di atasnya dengan doa-doa yang ia panjatkan. Tapi kali ini ia sendiri yang menambah luka itu dan memperparah keadaannya.

Tubuhku meringkuk di lantai yang dinginnya menusuk sampai ke tulang. Perutku terasa lapar namun untuk makan rasanya nggak mungkin. Bayangan menghabiskan sisa usia di tempat ini kembali terlintas dalam benakku. Aku begitu takut akan masa depan yang suram. Belum lagi kemarahan ayah dan bunda kalau sampai mereka tahu aku masuk penjara. Aku bisa saja diusir dari rumah dan nggak dianggap anak mereka lagi. Semesta, kalau ini mimpi tolong bangunkan aku. Aku nggak sanggup menerima kenyataan ini.

Dwi, sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?

Aku teringat perkataan Dwi kalau ia sangat mencintai Sugus. Apa karena perkataanku yang mengakui bahwa aku dan Sugus sudah menikah, jadilah ia bunuh diri dan menjebakku? Tapi rasanya Dwi nggak mungkin melakukan itu. Atau mungkin ada orang yang sengaja mendorongnya ke danau? Aaargh! Disaat-saat seperti ini otakku nggak bisa berpikir jernih.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang