Kangen-kangenan

58.1K 9.1K 1.2K
                                    

Aku memilih pulang ke ndalem setelah dari masjid dan berhasil mendapat godaan dari kedua sahabatku. Mereka memaksa memanggilku dengan sebutan 'Ning', tapi aku menolaknya. Di samping mereka yang masih harus menjaga statusku rapat-rapat, selain itu juga rasanya aku belum pantas dengan panggilan itu. Ilmu agamaku belum ada seujung kuku, bahkan jika dibandingkan dengan mereka, ilmu mereka jauh lebih banyak.

Pernah merasa sendiri dan kesepian saat di jeruji besi, rasanya sendirian dan kesepian di ndalem sepuluh kali lipat lebih baik dari pada di tempat itu. Tapi akan seribu kali lipat lebih baik jika orang yang paling aku tunggu datang.

Sebelum pergi ke dunia mimpi, aku membersihkan diri dan mengganti pakaian agar tidurku lebih nyaman. Setelah itu, aku duduk di depan meja rias. Menyisir, memakai krim malam dan hand body lotion seperti rutinitas biasanya. Dari cermin, aku perhatikan pipi sebelah kiri, masih ada jejak-jejak tamparan itu di sana, tapi terlihat samar. Meski tanpa sengaja, siang tadi ada lelaki lain yang melihat mahkotaku tergerai. Kalau suamiku tahu pasti ia akan sangat marah, pasalnya aku menampakkan aurat yang harusnya hanya ia saja yang boleh memandangnya. Maafin Sashi ya, Gus.

Terdengar suara mobil memasuki pekarangan ndalem. Aku keluar kamar, mengintip siapa yang datang. Dan yeay, dia datang.

Aku nggak langsung menyambutnya. Ingin sekali rasanya membuat dia tahu rasa karena tidak ada saat aku bebas. Aku pergi ke kamar, menyelimuti tubuhku dan pura-pura tertidur pulas.

Tidak lama pintu berderit. Meski tidak melihatnya aku tahu siapa yang datang. Di luar dugaan, bukannya Sugus langsung menghampiriku, ia malah pergi ke kamar mandi. Aku tahu karena terdengar suara jebar-jebur dari dalam sana.

Dari yang awalnya menghadap ke arah pintu, kini aku merubah posisi sebaliknya saat ia sudah keluar dari kamar mandi. Masih dengan akting pura-pura pulas, aku mengintip sedikit, ia sedang memilih pakaian dan memakai benda itu ke tubuhnya.

Sepertinya ia tidak peduli dengan kehadiranku. Kalau tahu seperti ini harusnya dari awal aku nggak perlu pura-pura tidur, langsung saja aku peluk dia dan bilang kangen. Kalau seperti ini kan aku sendiri yang kesal. Tubuhku kembali ke posisi awal yang artinya aku membelakanginya.

Tidak ada pergerakan dari arah belakang petiduran, tapi aku merasa hembusan napas di sekitar pipiku. Indra penciumanku juga merasakan bau mint. Beberapa detik kemudian, kecupan lembut bertengger lama di keningku.

"Lagi tidur kok hidungnya megar-megar gitu?" tanyanya pada diri sendiri yang membuat aku nggak bisa menahan tawa.

"Ehhmmm." Aku pura-pura menggeliat seraya mengucek mata. Netraku terbuka dan kami saling pandang.

"Dilanjut saja tidurnya," ucapnya. Heee nggak ada adegan kangen-kangenan apa ya? Apa dia nggak kangen sama aku? Atau mungkin dia nggak senang ya aku bebas? Ya sudah lah, mungkin semua pertanyaanku itu benar.

Kali ini aku memutuskan untuk tidur sungguhan, tapi perutku ini nggak bisa diajak kompromi. Cacing di perutku berdemo hingga Sugus bisa mendengar suaranya.

Sugus terkekeh, seperti biasa karena perbanku belum dilepas akhirnya dia yang menyuapi. Kami berdua segera menuju meja makan.

"Gus asddgsjajsksk," ucapku nggak jelas karena masih banyak makanan di mulutku.

"Ha? Kalau makan jangan sambil bicara, nanti kamu kesedak."

Baiklah, aku kunyah makanan cepat-cepat dan aku telan. "Gus kok nggak ikut jemput Sashi?" fiuh, keluar juga pertanyaan itu setelah sepanjang hari penuh dengan overthinking.

"Maaf ya, saya harus ke rumah sakit," jawabnya sambil menyendok nasi di piring. "A- dulu." Ia menyuapi itu ke dalam mulutku.

"Abi collapse," lanjutnya tanpa aku bertanya. "Jantung Abi kumat dan beliau juga sempat kritis," jelasnya. Tepat Sugus bicara begitu, makananku sudah habis.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang