Malam Zafaf

186K 14.9K 2.5K
                                    

Kami tiba di kawasan Momoory, di daerah puncak. Hawa dingin menyambut tubuhku saat keluar dari mobil, karena habis turun hujan. Memang saat kami memasuki kawasan Bogor, kami sudah di sambut oleh rintik-rintik air yang turun dari langit.

Aku baru tahu kalau di sini terdapat penginapan. Setelah memarkirkan mobil di halaman, Sugus mengajakku untuk masuk. Kami bergantian membersihkan diri, setelah itu berniat untuk shalat Isya berjamaah, karena diperjalanan nggak memungkinkan untuk berhenti sejenak ke masjid.

Beruntung alat shalat sudah dipersiapkan di tempat ini. Aku mengikuti shalat di belakangnya. Saat suara Sugus terdengar membacakan Al-fatihah, fokusku nyaris hilang. Ternyata aku baru sadar, suara merdu adzan dan bacaan di Masjid Agung itu adalah miliknya. Aku terhanyut hingga tanpa terasa tetes air mata membasahi pipi.

Menghadirkan surga dalam pernikahan, itulah yang aku rasakan saat ini. Kenikmatan-kenikmatan duniawi yang aku harapkan nyaris lenyap, tak tersisa. Aku seperti ditampar bolak-balik dari kenyataan, bahwa selama ini betapa aku tidak pernah bersyukur memiliki suami sepertinya.

Setelah salam dan membaca do'a, Sugus berbalik menghadapku. Hingga tubuh kami saling berhadapan. Tangannya terulur dan lantas aku sambut lalu aku bawa ke bibir untuk mengecupnya penuh takdzim. Tak kuasa air mataku kembali menetes.

"Kenapa?" tanyanya bingung. Kedua tangannya menangkup wajahku, sementara ibu jarinya membelai lembut pipiku seraya menyeka air mata. Aku nggak dapat menahan rasa haru ini, hingga tubuhku melesak ke dalam dadanya. Aku memeluknya sangat erat.

"Kenapa, hhm?" tanyanya sekali lagi. Aku rasakan elusan lembut di kepalaku hingga ke punggung.

"Sashi ..." Aku kesulitan berbicara. Entah sudah berapa banyak gunung dosa yang aku kumpulkan karena belum bisa menjadi istri yang baik untuknya. "Sashi Minta maaf."

"Untuk apa? Kamu nggak ada salah."

"Sashi belum bisa ... " Lagi, aku menggantung ucapanku. "Sashi belum bisa jadi istri yang baik untuk Gus."

"Siapa yang bilang, hhm?"

Kepalaku menggeleng yang masih dalam dekapannya. "Nggak ada. Tapi Sashi merasa seperti itu."

Aku merenggangkan pelukan. Sedikit menarik wajah ke atas untuk menatap mata Sugus yang kini menatapku. "Sashi ingin jadi istri yang shaliha, Gus bantu Sashi untuk itu, ya?"

"Saya juga masih belajar untuk jadi suami yang shalih. Kita sama-sama saling mengingatkan, ya?"

Kepalaku mengangguk, lantas mendapatkan kecupan lembut di puncaknya.

Ting Tong!

Suara bel kamar ini berbunyi. Sugus sekali lagi mencium puncak kepalaku seraya berkata lirih, "Sebentar ya." Kemudian ia bangkit dari duduknya setelah aku mengangguk.

"Afwan Gus mengganggu, ini makan malamnya, Gus."

"Syukron, Kang."

"Saya permisi dulu, selamat menikmati, Gus."

Dari tempatku, bisa kudengar percakapan mereka. Aku membuka mukena menyisakan piyama couple yang aku beli di mal tadi. Setelah dilipat rapi, aku letakkan mukena itu bersama sajadahku dan sajadah milik Sugus di meja kecil yang kosong. Kemudian aku menghampiri Sugus.

"Waaah, kebetulan Sashi laper banget, Gus."

Sugus tersenyum dan memberi isyarat agar mengikutinya ke meja makan. Cacing di perutku sudah nggak bisa diajak kompromi lagi, mereka sibuk berdemo seperti rakyat yang menuntut pemerintah di depan gedung MPR.

Ternyata Sugus juga sama laparnya sepertiku. Kami asyik menghabiskan kudapan ini sampai tuntas tak bersisa.

*****

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang