Perhatian Sugus

134K 11.5K 574
                                    

"Kenapa bisa kena Gastritis? Kamu nggak makan berapa hari, Sashi?" tanya sugus saat kami sudah tiba di kamarnya. Tadi aku sempat dibawa ke klinik pesantren, dan dokter bilang aku terkena Gastritis atau radang lambung atau biasa dibilang maag tapi sudah parah.

"Sashi nggak mau ngomong. Sashi masih marah sama Gus!"

"Sashi, tapi ini soal kesehatan kamu!" sentaknya.

Bodo amat, lagi pula nggak ada yang peduli padaku.

Sugus mengusap wajahnya sendiri dengan kencang. Ekspresinya nggak bisa kutebak. "Ya sudah, minum obat sebelum makannya dulu," ucapnya dengan nada yang lebih lembut.

Dia membuka bungkusan obat yang ada di nakas, kemudian meneliti obat mana yang harus aku minum lebih dulu. Setelah ketemu, dia mengeluarkan satu tablet dan memberikannya padaku. "Di minum."
Aku menggeleng.

"Sashiii." Dia memberi tatapan mengancam.

"Sashi nggak bisa minum obat ditelan gitu aja."

"Lalu?"

"Harus dihalusin."

Sugus geleng-geleng mendengarnya. "Ya sudah tunggu sebentar." Dia langsung pergi keluar kamar. Nggak lama kemudian sugus kembali lagi dengan sendok di tangannya dan juga obat yang sudah dihaluskan. Lalu sugus memberikan beberapa tetes air ke dalam sendok, kemudian mengaduk dengan jarinya. Persis seperti apa yang bunda lakukan kalau aku sakit. "Nih diminum," titahnya seraya mengulurkan sendok ke hadapanku.

"Ugh!" hampir saja obatnya aku keluarkan dari mulutku.

"Jangan dimuntahin, ditelan."

Aku langsung menenggak air putih sebanyak-banyaknya. Kelemahanku dari dulu memang takut jarum suntik dan minum obat. Kalian jangan bilang ke musuhku ya, nanti akan dijadikan senjatanya.

"Sudah delapan belas tahun, tapi mirip anak usia empat tahun," gumamnya seraya menerima gelas dariku.

"Sashi masih nggak mau ngomong ya, Sashi masih marah!"

Sugus malah terkekeh, memangnya ada yang lucu?

"Kalau kamu sembuh, saya belikan es liang teh."

"Di mana? Gus tahu tempatnya?" tanyaku antusias. Hee? Harga diriku cuma sebatas es liang teh doang ya? Dasar Sashiii.

Sugus mengangguk cepat. "Tapi janji harus sembuh secepatnya."

"Nggak janji kalau gitu."

Tangan sugus terulur, dan menepuk-nepuk kepalaku layaknya menepuk kucing kesayangan. "Pokoknya kamu harus cepet sembuh," tukasnya sedikit memaksa.

"Makan ya, saya suapin." Sugus mengangkat piring berisi lauk pauk yang ada di atas nakas. Sugus yang mengambilnya sendiri dari dapur.

"Memangnya Sashi anak kecil?"

"Memang iya. Anak kecil usia empat tahun."

Ish sebel! Hari ini sugus lebih banyak omong! "Kalau gitu, kenapa anak kecil dinikahin? Dasar pedofil!"

Aku langsung menutup mulut, sadar kalau celaanku barusan takut membuat sugus tersinggung. Biar bagaimana pun juga dia kan anak dari pemilik pesantren ini. Harus aku hormati. Tapi sugus nggak menunjukkan wajah marah, dia malah tersenyum samar.

Omong-omong soal nikah, jangan sampai para satri tahu status kami. Apalagi sugus menggendongku terang-terangan di depan santriwati lain. Aku takut mereka curiga, aku takut efeknya lebih buruk dari gosipku dengan ustadz Abas. Pokoknya jangan sampai itu terjadi.

"Sashi nggak mau makan!"

"Makan Sashi, nanti kamu tambah sakit," rayunya. Eh bukan rayu gombal kata-kata cinta gitu, ya. Tapi maksudnya sugus merayuku supaya aku mau makan. Manusia seperti sugus mana mungkin bisa mengeluarkan kata cinta, aku beri tepukan gemuruh kalau sampai terjadi.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang