Cemburunya Gus Omar

144K 13.8K 1.5K
                                    

"Ma.. Maaf Ustadz, Sashi permisi dulu," ucapku seraya setengah menunduk tanda menghormatinya. Meski aku tahu, Ustadz Abas ingin sekali mencegahku pergi, tapi tak ku hiraukan. Aku setengah berlari untuk menuju Sugus.

Aish, kaki Sugus itu kan panjang, aku jadi kesulitan mengejarnya karena ia berjalan cepat sekali di depanku. Dan sialnya, bel tanda masuk berbunyi. Aku jadi kebingungan antara harus mengejar Sugus atau kembali ke kelas.
Ya ampuuun, kenapa situasinya nggak tepat gini, sih?

Akhirnya aku memilih opsi ke dua, agar nanti setelah ujian selesai, aku bisa menjelaskan dengan detail apa yang terjadi. Semoga saja Sugus nggak mendengar ucapan Ustadz Abas. Ya, semoga.

Aku langsung berbalik arah, dan berlari sekencang mungkin agar Ustadz Abas nggak punya kesempatan berbicara padaku lagi. Aku harus segera menyelesaikan ujian terakhir, agar aku bisa bertemu Sugus.

Tapi sialnya, otak pintar yang selama ini aku banggakan mendadak dalam mode off. Aku nggak bisa berpikir jernih, yang ada di kepalaku hanya Sugus saja. Alhasil, konsentrasiku buyar entah ke mana. Aku baru selesai mengerjakan soal terakhir saat bel sudah berbunyi tanda kami harus meninggalkan kelas, benar-benar menyebalkan.

Kalau nilaiku sampai hancur, dan harus ikut remedial, orang yang pertama aku mintai pertanggung jawaban adalah Sugus. Lihat saja nanti.

"Huaaah, akhirnya bisa bernapas lega juga," pekik Dwi yang ada di sampingku. "Rasanya kepala ini mau pecah!"

"Eh setelah ini kita keluar yuk, lumayan buat cari udara segar." Itu suara Leni yang berbicara. Aku tak begitu menghiraukan, karena sibuk merapikan alat tulis dan papan jalar yang dimasukkan ke dalam tas.

"Boleh deh, boleh." Dwi dan Hani menyahut.

"Kamu gimana, Sas?" tanya Dwi yang menyadari aku diam saja.

"Sorry ya, kalian saja. Aku nggak bisa," jawabku seraya menutup resleting tas. Terdengar helaan kecewa dari mereka.

Dengar-dengar setelah ujian adalah hari bebas. Para santri diperbolehkan keluar dari pondok asalkan dengan tujuan yang jelas, dan pukul lima sore harus sudah kembali lagi. Kalau lebih dari jam yang sudah ditentukan, siap-siap saja memakai kerudung Dosa. Alias kena hukuman.

"Aku duluan. Have fun ya kalian." Aku melambaikan tangan. Dan sebelum mereka menginterupsi aku berlari meninggalkan kelas. Akhirnya, sampai juga saat seperti ini.

Aku mengatur napas sejenak, capai juga ya lari-larian dari kelas ke ndalem. Apalagi dengan jarak yang nggak dekat. Rasanya seperti habis marathon ribuan kilometer.

Setelah napasku sudah nggak ngos-ngosan lagi, dengan merapalkan basmalah aku melangkahkan kaki ke ndalem. Entah kenapa kali ini rasanya berbeda saat memasuki tempat yang beberapa bulan ini aku tinggali. Kepalaku juga sibuk merangkai kata-kata yang nanti akan aku ucapkan pada Sugus. Pingin ketemu suami saja, mengapa rasanya pingin ketemu guru paling killer, sih?

Tenang Sashi, tenang...

Inhale...

Exhale...

Fiuh.

Belum sempat aku membuka pintu, benda itu terbuka lebih dulu. Membuat aku terkejut saja. Tapi orang yang ada di baliknya membuat dadaku ini deg-deg serr nggak karuan.
Sugus.

Ia nampak rapi dengan abaya putih dan nggak lupa memakai sorban di kepalanya. Sepertinya ia sedang ingin keluar deh.

Namun, belum sempat aku mengucapkan sepatah kata pun, Sugus berlalu begitu saja melewatiku. Seperti nggak menyadari kehadiranku, layaknya aku ini makhluk tak kasat mata. Padahal jelas-jelas beberapa detik tadi netra kami saling bertemu.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang