Ini part yang jumlah katanya paling banyak sejak aku nulis cerita ini, dan sepertinya akan sangat membosankan.
Maaf ya kalau aku updatenya lama, abis ngurus Mas Kenan sama Kanaya pindah rumah ke "Mimpi"Happy reading ❤
Kalian tahu, kenapa dulu aku jatuh cinta pada Alan dan merasa nyaman dengannya? Jawabannya adalah karena Alan apa adanya. Mungkin sebagian orang melihatnya sebelah mata, hanya keburukannya saja yang dinilai tanpa melihat sisi baiknya sama sekali.
Sebelum kami berpacaran, lebih dulu kami berteman. Alan datang menjadi temanku dan surprisingly kami satu frekuensi and we have a similar sense of humor. Aku bisa bicara apapun pada Alan. Film, berita yang sedang viral, cita-cita masa depan, makanan enak, warkop murah, bakso Om Beben yang nggak ada duanya, menebak isi perut Pak Dadang yang seperti hamil 7 bulan, affair antara junior-senior, dan masih banyak lagi. Dengan Alan aku nggak perlu takut salah bicara dan dia selalu bisa jadi pendengar yang baik. Aku bersyukur dipertemukan dengannya, mungkin kalau Alan nggak ada masa-masa SMA yang katanya adalah masa-masa paling indah, berubah menjadi masa suram sepanjang hidup.
To be honest, aku sering merasa kesepian di sekolah. Mereka bilang, menjadi Sashi Liem lima puluh persen beban hidup akan dilalui dengan mudah karena privileged wajah cantik, anak dokter dan otak Einstein. Tapi justru aku merasa bahwa semua itu adalah ujian terberat di hidupku.
Aku hampir tidak memiliki teman. Mereka datang kepadaku kalau butuh saja. Contohnya saat mau ulangan dan menjadikan aku tutor sebaya mereka. Aku sama sekali nggak keberatan, sungguh. Memiliki otak "encer" adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan diamalkan juga. Bunda sering bilang bahwa ilmu yang bermanfaat termasuk salah satu amal jariyah yang pahalanya akan tetap mengalir meski raga ini sudah tiada. Tapi setelah ulangan selesai, mereka menghilang begitu saja. Bahkan saat berpapasan di sekitaran sekolah mereka seolah-olah nggak mengenalku.
Sering pula mendengar bisik-bisik kalau aku ini caper kepada semua guru. Padahal aku merasa biasa saja bersikap sebagaimana aku memuliakan guru. Masak iya kalau ada guru yang minta tolong nggak aku bantu. Iya, kan?
Selama SMA, aku pernah mempunyai satu teman dekat, namanya Azifa. Kami berdua dekat semenjak MOS dan kebetulan saat kelas 10 kami dipertemukan dalam kelas yang sama, begitu pula dengan kelas 11. Kami juga satu organisasi dan menjadi pengurus di eskul Mading. Pada akhir-akhir kelas 11 dan selesai ujian semester, tiba-tiba saja Azifa memutus pertemanan kami. Ia bilang berteman denganku hanya menjadi bebannya saja. Ia merasa menjadi bayang-bayang karena nggak pernah dianggap "ada" saat berada di dekatku karena semua laki-laki yang ia sukai mendekatinya hanya untuk mencari tahu tentangku. Mereka nggak berani mendekatiku secara langsung, karena saat itu aku sedang berpacaran dengan Alan. Bahkan Mia—chairmate—ku nggak mau lagi duduk bersama karena Azifa bilang kalau Ali—orang yang Mia sukai— menyukaiku. Keduanya juga memprovokasi teman-teman sekelas agar menjauhiku. Akhirnya aku sendiri lagi di sekolah, paling hanya bersama dengan Alan kalau Aru sih nggak usah ditanya, ia sibuk dengan organisasinya.
Kalian pasti tahu betapa tersiksanya aku saat pertama kali dimasukkan ke pesantren ini. Dan alasan kenapa aku bertahan adalah dipertemukan dengan tiga orang yang menjadi teman sekamarku alias mereka yang aku anggap sahabat. Sesuatu yang nggak pernah aku dapatkan saat di SMA-ku dulu. Do you know my feeling at that time? Aku merasa senang dan sangat bersyukur, finally ada orang yang mau bersahabat denganku tanpa embel-embel privileged. Dan sekaligus tiga! Having a true friend is a blessing.
Bagaikan de javu, kejadian Azifa yang memutuskan pertemanan kami waktu itu terjadi lagi, kali ini dalam bentuk Dwi. Dalam mimpi pun aku nggak pernah membayangkan bahwa keburukan yang aku alami selama ini bersumber padanya, bahkan kalau boleh meminta, aku akan meminta tidak tahu saja kalau Dwi yang melakukannya. Supaya kami bisa terus bersahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Espiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...