Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)

92.7K 11.8K 4.2K
                                    

Silakan diputar mulmednya biar lebih menghayati *caelaah. Anggap aja yak itu suaranya Sugus hihi.

Happy reading

Makasih udah baca

Luvvv 💜

Salam, Emaknya Sashi

****

Ingin sekali aku bertanya banyak mengenai masa lalu Sugus kepada Ning Aisyah, namun sepertinya waktunya nggak tepat. Lagi pula hari ini adalah hari bahagianya, aku nggak mau merusaknya begitu saja. Terlebih menambah beban pikiran Ning Aisyah yang sedang gugup.

Terdengar suara pintu yang diketuk seseorang dari luar. Ning Aisyah mengizinkan aku untuk membukanya. Sontak kakiku melangkah ke arah benda itu dan setelah dekat, knop pintu aku gerakkan hingga muncul seorang wanita paruh baya yang nggak asing lagi untukku. Beberapa detik ia terdiam sejenak, tubuhnya seperti disulap kaku saat melihatku. Namun itu hanya berlangsung sesaat, sedetik kemudian tubuhnya menubruk tubuhku dan membawa ke dalam dekapannya.

Terdengar suara isakan dari balik tubuhku. Rupanya beliau sedang menangis. Tanganku refleks mengusap punggungnya agar tangisan itu mereda.

"Maaf..." Rupanya beliau tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya kata itu yang keluar bersamaan dengan sedu sedannya.

"Sashi nggak apa-apa, Umi," kataku mencoba menenangkannya. Aku rasa Sugus sudah cerita pada Umi tentang apa yang aku alami. Ya Allah, ternyata Umi mertuaku ini sungguh lembut hatinya.

Umi merenggangkan dekapannya pada tubuhku. Dielusnya wajahku dengan kedua tangannya. Aku merasakan kasih sayang yang begitu besar darinya. Meskipun jauh dari Bunda, aku nggak kehilangan sosok ibu karena ada Umi. Umi memastikan bahwa aku baik-baik saja dan setelah itu mengecup pipiku dengan penuh kasih.

Kedua tangan Umi memegang pergelangan tanganku. Netranya mengamati perban yang masih terpasang di telapak tanganku. Lama-kelamaan netra itu kembali berair namun aku tebak ia tahan agar nggak terjatuh.

"Kata dokter kalau Sashi rajin minum obat pasti cepet sembuh kok, Mi. Umi jangan khawatir ya."

Kepalanya mengangguk. Umi meniup-niup punggung tanganku yang tertutup perban secara bergantian.

"Ya ampun, aku baru nyadar. Itu tangan kamu kenapa, Sas?" tanya Ning Aisyah.

"Nggak papa, Ning. Cuma sedikit ada insiden aja hehe," jawabku seraya menunjukkan senyum model iklan pasta gigi.

Ternyata Umi ke kamar ini untuk menjemput Ning Aisyah ke tempat acara. Aku dan Umi mendampingi Ning Aisyah dengan suka cita. Ning Aisyah memegang tanganku dan bisa aku rasakan tangannya itu sedingin es.

Setelah sampai di tempat acara ternyata tidak seperti bayanganku. Ini pernikahan pertama yang aku datangi berkonsep islami dimana tamu perempuan dengan laki-laki di pisah. Meskipun tempat ini awalnya adalah aula pesantren, tapi sudah disulap sedemikian rupa menjadi tempat pernikahan yang indah. Sudah pasti tentunya bertema merah muda ya bund.

Kedatangan aku, Umi, dan Ning Aisyah membuat pasang mata para tamu yang sudah datang tertuju pada kami. Lebih tepatnya sih ke arah pengantin ya. Atau kalau ada yang fokus padaku pasti aku dianggap hanya sebagai pinggiran martabak saja. Pasalnya mereka itu cantik-cantik sekali seperti titisan Cleopatra. Mengapa aku berkata demikian? Aku nggak tahu Ning Aisyah dapat teman atau kerabat dari mana yang jelas penampilan mereka sebelas dua belas dengan putri dari kerajaan Arab. Sepertinya saat pembagian wajah, mereka datang lebih dulu dan mendapat antrean paling awal. Hingga mendapatkan struktur wajah sempurna.

Kami dihadapkan oleh layar televisi sekitar 55 inch yang memuat gambar prosesi akad nikah yang diadakan di masjid. Benda persegi panjang itu menampilkan wajah Om Ransi selaku mempelai pria, lelaki paruh baya yang aku taksir adalah abinya Ning Aisyah karena wajahnya mirip dengan yang aku lihat di foto, Abi dan juga Sugus. Sesekali kamera yang terhubung dengan televisi itu mengambil gambar suasana sekitar masjid yang didominasi oleh para santri.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang