"... Menyatakan bahwa saudara Sashi Liem terbukti bersalah dan mendapat hukuman mati."
Tok! Tok! Tok!
Palu hakim telah terketuk tiga kali dan putusan itu telah ditetapkan. Aku menunduk sambil menahan tangis, meratapi bahwa mengapa dunia ini tidak adil. Pandanganku menatap nanar kedua tangan, sungguh tanganku ini tidak pernah aku gunakan untuk membunuh siapa pun, bahkan terbersit niat menyakiti saja tidak ada dalam pikiranku. Kecuali kalau aku punya ilmu hitam, bisa membunuh orang tanpa menyentuhnya.
Pandanganku berpindah kepada orang-orang yang menghadiri sidang, diantara mereka adalah orang yang aku kenal. Sugus, Ustadz Abas, teman-temanku, ayah, bunda yang entah siapa memberi tahu keduanya padahal aku sudah mewanti-wanti agar keduanya tidak tahu permasalahanku ini. Dan yang anehnya, ada Alan di sana yang sedang menatapku nanar.
Tanganku dicekal oleh petugas, mungkin maksud mereka agar aku tidak kabur. Aku sudah ikhlas apapun yang terjadi. Inilah akhir hidupku. Jatah aku eksis di dunia sudah habis. Aku dibawa ke ruang eksekusi, tempat di mana aku akan bertemu "malaikat Izrail".
Aku tidak berpikir apa-apa lagi, bahkan sekadar bertanya apa itu keadilan saja tidak. Biarlah pengadilan dunia tidak berpihak kepadaku, yang pasti aku yakin bahwa Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan pengadilan Allah lah sebaik-baik pembuat keputusan yang adil dan bijak.
"Apa permintaan terakhir kamu?" tanya seorang sipir yang terlihat sangat menyeramkan.
"Maaf. Tolong sampaikan permintaan maaf kepada suami dan orangtua saya." Maaf kalau aku belum bisa jadi istri yang baik untuk suami sebaik dan sesholeh dirinya. Maaf juga ayah dan bunda, kalau selama aku hidup belum bisa membahagiakan kalian. Sashi sering buat ayah dan bunda kesal dengan ulah Sashi. Sering menyusahkan, membuat kalian marah. Selain itu, satu kata yang ingin aku ucapakan, terima kasih. Terima kasih atas segala cinta dan kasih sayang yang kalian curahkan, bahkan saat aku dan Aru masih damai di dalam rahim bunda. Ayah, bunda, kalau kita bertemu di kehidupan selanjutnya, atau bahkan seandainya Sashi terlahir kembali dan bisa memilih terlahir di keluarga mana. Maka dengan lantang Sashi akan menjawab Sashi tetap memilih menjadi putri ayah dan bunda.
Kedua tanganku diikat ke belakang di tiang. Sekitar 5 orang berdiri dengan membawa senjata api berukuran panjang. Dan satu orang lagi yang sepertinya akan memberi komando kepada mereka agar menembak ke arahku. Selanjutnya aku tidak bisa melihat apa-apa karena seseorang menutup kepalaku dengan kain hitam.
DORRR!!
"Sashi Liem!"
Kedua mataku terbuka saat suara seseorang menggelegar memanggilku. Ya Allah, apa mungkin itu malaikat Munkar dan Nakir yang akan menanyakan amal ibadahku selama di dunia. Apa saat ini aku sudah ada di alam kubur?
Tapi aku merasakan pipi hingga mataku basah. Seketika kucubit saja salah satu pipiku untuk memastikan sesuatu, dan aku masih merasa sakit. Syukurlah ternyata aku hanya mimpi.
Ternyata putusan itu hanya mimpi. Mimpi yang seperti nyata."Sashi ada yang ingin bertemu denganmu."
"Eh i..iya bu. Terima kasih."
Mengetahui siapa yang datang, aku berlari ke arahnya. Lantas aku peluk saja karena sungguh aku takut sekali kalau tidak bisa melihatnya lagi.
Tanpa sadar aku menangis hingga membuat kemejanya basah. Saat aku ingin melepas dekapan kami, dia menahan tubuhku dan semakin memeluk erat.
"Begini dulu, ya? Satu menit aja," bisiknya lirih di telingaku. Kepalaku mengangguk.
Aku menunggu waktu satu menit dengan mendengar degup jantungnya yang ternyata seirama denganku, merasakan deru napasnya menerpa kulit dan tanganku mengelus dada bidangnya dan memainkan kancing saku kemejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...