Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup

126K 11K 885
                                    

"Ayo ikut aku, Sas!"

Dwi menarik lenganku seketika, dan mau nggak mau aku harus mengikutinya. Kalau nggak, tanganku ini bisa copot saking kerasnya dia menarik.

Langkahnya baru terhenti saat kami sudah sampai di depan papan informasi pesantren. "Ada apaan sih, Wi?" tanyaku.

Dwi yang tadi mengamati papan informasi, kini menoleh ke arahku. Kedua matanya berbinar-binar, ssperti habis melihat cogan (read: cowok ganteng). "Lihat nih, Sas. Ada info beasiswa ke luar negeri."

"Ya terus?"

"Kamu kan pintar, coba aja daftar. Siapa tahu diterima," sarannya kemudian.

"Nggak lah Wi, aku belum pernah pergi sejauh itu," tolakku dengan nada halus agar Dwi nggak tersinggung. "Di luar negeri nggak ada yang jual es liang teh," kelakarku dan Dwi langsung tertawa mendengar ucapanku barusan. Syukurlah kalau dia nggak marah.

Sebenarnya aku ingin sekali kuliah di luar negeri. Bukan karena perguruan tinggi di Indonesia nggak bagus, bukan itu. Justru malah banyak perguruan tinggi yang berkualitas dan berhasil melahirkan orang-orang hebat. Alasanku ingin ke sana supaya bisa lebih mandiri dan juga punya banyak teman dari seluruh dunia. Dengan begitu, aku bisa travelling ke negara mana saja yang aku mau. Hehe.

Tapi aku nggak yakin kalau Bunda akan setuju. Selain itu...., Sugus. Apa Sugus akan mengizinkanku ke luar negeri seorang diri? Apa Sugus mau melakukan hubungan jarak jauh selama bertahun-tahun? Kalaupun Sugus mengizinkan berarti nggak akan ada yang mengurusnya dong?

"Ya sudah deh, Sas, kalau kamu nggak mau coba dulu. Aku aja yang otak pas-pasan ini mau coba lho."

Akhirnya aku mengantarkan Dwi untuk pergi ke ruang pengurus, ingin bertanya persyaratan apa yang harus dipersiapkan.

Tapi tiba-tiba langkahku sontak terhenti saat melihat Sugus dan Ning Aisyah yang sedang berjalan berdua di lorong yang menghubungkan dengan ndalem. Sebelum keduanya benar-benar menghilang di balik dinding, dari tempatku berada aku bisa melihat keduanya tengah berbicara sesuatu. Sesekali mereka melemparkan senyum satu satu lain.

"Kamu kenapa, Sas?" tanya Dwi menyadari aku berhenti mendadak.

"Ah nggak papa, Wi," ucapku dengan suara bergetar menahan sesak. "Sepertinya aku berubah pikiran deh. Aku mau coba daftar beasiswa."

"Kamu serius?" tanya Dwi setengah nggak percaya. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Asiiik, gitu dong. Hani sama Leni aja udah daftar."

Aku memaksa tersenyum, padahal ingin sekali aku menangis. Entahlah, beberapa hari ini aku memang sedikit cengeng.

Aku rasa keputusanku ini sudah tepat. Untuk apa aku memikirkan orang yang sama sekali nggak bisa menghargaiku sebagai istri? Untuk apa aku malah khawatir kalau Sugus nggak ada yang mengurus? Toh sebelum menikah, Sugus bisa mengurus dirinya dengan baik. Pernah di pesantren, dan kuliah di luar negeri. Lalu kenapa pula aku harus khawatir? Kenapa?

Kalian tahu, beberapa hari sejak kedatangan Ning Aisyah pesantren dibuat geger karena kedekatannya dengan Sugus. Telingaku sampai panas mendengar gosip kalau keduanya dijodohkan, atau keduanya adalah couple goals, atau yang lebih parah lagi mereka bilang kalau pernikahan keduanya akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Ingin sekali rasanya aku berteriak di depan orang-orang itu kalau sebenarnya aku adalah istri Sugus. Tapi apa mereka percaya?

Sejak kejadian Sugus nggak menegurku di depan ruang khusus olimpiade, selama beberapa hari juga aku nggak ke ndalem. Sugus juga nggak mencariku, toh sudah punya yang baru. Yang lebih cantik dan lebih dewasa, nggak seperti aku yang hanya anak kecil.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang