Kisah Bumi dan Bulan

104K 9.3K 588
                                    

Aku memasuki bus kota dan memilih duduk di dekat jendela. Hawa panas langsung menerpa kulitku. Pandanganku tertuju pada jalanan yang dipenuhi debu berterbangan, lampu merah, pengendara motor, bus transjakarta, pedagang asongan, dan juga pengamen. Apapun itu, asal pikiranku nggak tertuju pada Alan.

Bus baru berjalan sebentar, dan ada satu pengamen masuk membawa gitar. Tangan dan lehernya dipenuhi tato, lidahnya pun ditindik, rambutnya awut-awutan seperti belum disisir.

"Selamat siang. Dikulum-kulum, dikunyah-kunyah. Assalamu'alaikum Tuan dan Nyonyah!"

Wa'alaikumsalam, Bwang. Jawabku dalam hati.

"Maaf mengganggu perjalanan anda. Saya berdiri di sini cuma mau mencari sesuap nasi. Dari pada nodong lebih baik saya ngamen, kan? Seribu dua ribu tidak akan mengurangi kekayaan anda." Pengamen itu sudah menyelesaikan intronya dan mulai memetik gitar.

"Aku kesal dengan jarak yang sering memisahkan kita. Hingga aku hanya bisa berbincang denganmu di Whatsapp."

Pengamen itu ternyata menyanyikan lagu "Celengan Rindu" milik Fiersa Besari. Suaranya pun merdu, nggak seperti penampilannya. Memang kita nggak boleh melihat orang dari luarnya saja.

"Aku kesal dengan waktu yang tak pernah bisa berhenti bergerak. Barang sejenak agar aku bisa menikmati tawamu."

"Hai gua Alan. Cucunya Kahlil Gibran, anaknya Tere Liye dan adiknya Fiersa Besari."

Aku teringat pertama kali Alan memperkenalkan dirinya di hadapanku. Tangannya gemetaran, keringat sebesar biji jagung muncul di dahinya, tapi Alan nggak ngaku kalau dia nervous. Alan bilang dia habis olahraga. "Gua habis lari marathon. Iya, marathon. Marathon ngejar-ngejar cewek cantik."

"Gue—"

"Bulan, kan?" selanya. Keningku mengerut, sepertinya dia salah orang.

"Gue Sashi bukan Bulan."

"Lo nggak tahu, ya? Arti nama lo dalam bahasa Sansekerta itu kan Bulan."

Awalnya aku nggak mau meladeninya. Alan terkenal biang rusuh. Baru pertama kali masuk saja namanya sudah terkenal seantero sekolah karena melawan kakak OSIS yang menurutnya belagu. Tapi karena Alan sudah menolongku akhirnya aku ikuti saja maunya.

Pikiranku langsung tertuju pada moment kebersamaan kami. Bus kota, udara panas Jakarta siang hari, bau asap kendaraan, seolah membawaku memasuki mesin waktu saat pertama kali aku mengenalnya.

"Sashi ada salam dari Alan kelas sepuluh tiga," ucap Ali—teman sekelasku— yang terang-terangan berbicara di depan kelas. Sontak yang lain men-cie-cie-kan aku.

"Alan itu siapa, sih?" tanyaku pada Mia teman sebangkuku. Si Alan Alan itu sudah kesekian kalinya menitip salam pada temanku. Entah si Ary, si Risjad, si Alfi dan ini terakhir si Ali.

"Masak lo nggak tahu, sih?"

Aku benar-benar nggak tahu. Namanya sih nggak asing, tapi kalau wajahnya nggak pernah aku lihat.

"Itu loh si biang rusuh, musuhnya Pak Dadang." Pak Dadang itu wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, jadi wajar saja kalau ada siswa yang nakal berurusan dengannya, selain guru BK tentunya. "Ya kalau dari muka sih nggak jauh ya dari Cameron Dallas—dulu Jefri Nichol belum terkenal—, tapi kelakuannya beuh ... Jauh-jauh deh lo dari dia."

Belum sempat aku bertanya lagi, speaker sekolah sudah memberi tahu bahwa seluruh siswa dan siswi harus berkumpul di lapangan untuk upacara bendera. Kebetulan memang hari senin.

"Ayo, Sas! Nanti keburu disergap guru piket!"

"El—lo duluan aja deh. Gue lagi nyari topi." Aku terus mencari benda itu dengan mengacak-ngacak isi tas. Sepertinya sudah aku masukkan ke dalamnya, tapi kenapa nggak ada, ya?

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang