Mencoba Kabur

145K 11K 1.2K
                                    

Setelah pulang dari ndalem aku dicecar pertanyaan oleh Dwi. Aku jelaskan saja Umi hanya kasih aku wejangan supaya betah di sini, dan cerita tentang ayah. Bicara ayah, aku jadi teringat kembali ucapan Umi padaku.

"Buat dapatin kamu, ayahmu itu sampai minta bantu doa Pak Kiayi dan Umi lho. Bundamu itu sulit hamil, tapi ayahmu percaya kekuatan doa. Masya Allah banget, Sas, seorang mualaf tapi punya keyakinan yang mantap pada Allah."

Ah, ayah. Kapan ayah berhenti buat Sashi semakin kagum?

Nggak boleh, nggak boleh. Aku kan lagi kemusuhan sama ayah. Sebelum ayah keluarin aku dari penjara ini, aku nggak mau berdamai!

"Terus Sas, denger berita tentang Gus Omar, nggak?"

Nah sebenarnya siapa sih si Agus Agus itu? Tadi juga si cewek ular bertanya sama Umi.

"Agus siapa sih, Wi? Kok kayaknya jadi tranding topic banget?"

Yeu Jubaedah! Dia malah tertawa dengar pertanyaanku. "Bukan Agus, Sas, tapi Gus," ucap Dwi sambil menekan kata terakhir.

"Iya maksudnya siapa si sugus itu?"

"Gus, Sashi. Gus! Kalau sugus mah permen. Eh tapi dia memang manis sih." Dwi senyum-senyum sendiri sambil memelintir ujung jilbabnya. Kenapa nih orang? Aku takut obatnya abis.

"Namanya Gus Omar Al-Bana, anak satu-satunya Umi dan Pak Kiayi. Otomatis nanti dia yang jadi penerus pesantren ini. Sekarang dia lagi ngambil S2 di Yaman, nah kabar yang beredar dia mau pulang ke sini karena kuliahnya udah selesai."

Aku hanya ber-A ria. "Nggak ada yang menarik sama sekali."

"Sashi! Kamu belum tau aja orangnya gimana?" Dwi nggak terima aku meremehkan sugus. Dih sepertinya ada bau-bau fans garis keras. Lebih-lebih dari Army nih kayaknya.

Yang nggak tahu Army, itu lho nama fansclub boyband BTS.

"Emangnya gimana sih? Kamu udah pernah liat langsung?"

Dia menggeleng. "Belum sih." Jeeeh gimana sih? Belum liat langsung tapi udah muji-muji setengah hidup. "Tapi aku pernah liat facebooknya waktu liburan kemarin. Ganteng banget banget Sashi." Dwi histeris sewaktu bilang ganteng. "Mukanya itu udah mirip sama pangeran Arab."

Aku hanya mengangguk, pura-pura percaya. "Hati-hati, banyak lho kasus di sosmednya cakep, tapi pas udah ketemu malah zonk."

"Dih Sashi, kok gitu banget sih!" Dwi mencak-mencak nggak terima omonganku.

"Yaaa yang pasti-pasti aja lah. Gantengan juga pacar gue mirip Jefri Nichol."

Kening Dwi mengerut, alisnya menyatu. "Jefri Nichol siapa, Sas?"

Aku menepuk bahunya pelan. "Nanti pas liburan coba buka mbah gugel ya, terus ketik namanya di situ. Tapi hati-hati nanti naksir."

"Dia artis?"

"Ya sebelas dua belas lha sama si Alan."

"Kamu ngatain aku, Sas?"

"Alan itu nama pacar gue, Jubaedah! Astagfirullah."

Dwi nyengir, menunjukkan sederet giginya yang rapi. "Ya maaf, kan aku nggak tau."

"Selooow, coba aja HP gue nggak disita ayah, pasti udah gue kasih tau." Tanpa terasa sudut bibirku tertarik membentuk bulan sabit. Di handphoneku banyak sekali fotoku dengan Alan. Ah, Alan aku rindu. Aku rindu saat dia memanggilku 'Nona Bulan'

*****

Aku bersandar pada pilar masjid dengan masih memakai mukena dan al-qur'an di tangan. Sejuknya hawa masjid dengan kipas angin yang besar ditambah udara dingin membuat mataku tinggal 5 watt. Rasa rindu pada kasur semakin besar, ingin sekali memeluknya. Semoga saja Alan nggak marah aku merindukan selainnya. Hihi.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang