Fakta Baru

57.6K 10.3K 3K
                                    

Dorrr!
Kaget nggak? Kaget nggak? Kaget lah masa nggak!

Apa kabar kelen yang sudah nunggu lama cerita ini? Wkwk

Sedikit dulu ya, udah lama nggak nulis jadi kaku euy.

Happy reading

****

Suasana di dalam pesantren dapat dikatakan tidak lagi kondusif. Kegiatan belajar-mengajar, mengaji, mengkaji kitab terhenti. Bahkan tidak sedikit wali santri yang menjemput paksa anaknya agar pulang dan mengancam tidak akan kembali lagi sebelum pihak kepolisian memutuskan bahwa apa yang terjadi bukanlah kasus pembunuhan. Kepercayaan mereka pada pesantren sirna sudah.

Sementara di sisi lain, Gus Omar dan Ustadz Abas pulang dengan tangan hampa. Keduanya baru saja mengunjungi rumah duka untuk membujuk orang tua Dwi agar jasad putrinya itu diautopsi, namun keduanya tetap bersikukuh pada pendiriannya.

Entah harus dengan cara apa lagi kebenaran akan terungkap.

"Pak Kiayi! Tolong Pak Kiayi, pingsan!"

Gus Omar yang mendengar hal itu tentu saja mengambil seribu langkah. Ia berlari secepat mungkin ke ndalem untuk melihat kondisi ayahnya dan benar saja, tubuh yang sudah tidak lagi muda itu diangkat oleh beberapa orang dengan mata yang terpejam. Umi yang ada di tempat kejadian hanya mengeluarkan sedu sedan.

"Jantung Abi, jantung Abi kumat."

Meski awalnya terkejut mendengar ucapan Umi, Gus Omar kembali menyadarkan diri. Ia harus bergerak cepat agar Abinya bisa diselamatkan.

"Ustad Abas kita ke rumah sakit!" titahnya pada Ustad Abas seraya melempar kunci mobil. Sedangkan ia membantu yang lain membawa tubuh Pak Kiayi untuk masuk ke dalam mobilnya.

Di dalam mobil suasana begitu mencekam. Di bagian depan, ada Ustad Abas yang sedang fokus menyetir dengan kecepatan maksimum, sedangkan di sampingnya ada Umi yang sedang menangis. Gus Omar berada di belakang bersama dengan Pak Kiayi yang masih terpejam berbaring berbantalkan paha putra semata wayangnya.

"Bertahanlah Abi, saya mohon bertahan."

Mereka telah sampai di rumah sakit tujuan. Beruntung tidak ada kendala berarti saat perjalanan ke rumah sakit. Para nakes dengan sigap menjemput Pak Kiayi dengan membawa bankar lalu memasukkannya ke Unit Gawat Darurat.

Gus Omar, Ustad Abas dan Umi hanya dipersilakan menunggu di depan.pintu UGD.

"Umi takut terjadi sesuatu dengan Abimu," ucap Umi dengan derai air mata.

"Sssttt kita berdoa saja untuk kebaikan Abi, Mi," balas Gus Omar yang lantas memeluk Umi seraya mengusap punggungnya agar tenang. Meski hatinya bertanya-tanya tentang penyakit yang di derita oleh Abinya itu. Sejak kapan Abinya itu punya penyakit jantung? Gus Omar merasa tidak berguna sebagai anak yang tidak mengetahui kondisi orang tuanya.

Gus Omar menarik napas dalam dengan susah payah. Dadanya seperti dililit tali tambang begitu hebatnya. Pundaknya juga terasa berat memikul beban ujian yang datangnya bertubi-tubi. Namun ia tetap harus berdiri tegak demi wanita yang masih dalam dekapannya ini.

Melihat hal itu, tidak banyak yang dilakukan oleh Ustad Abas. Ia hanya menepuk pundak Gus Omar seraya mentransfer energi positif dan memberikan dukungan. Bibirnya diam seribu bahasa dengan kekhawatiran yang sama dengan laki-laki yang sudah dianggap layaknya saudara sendiri.

"Pasti jantungnya Abi kambuh karena kepikiran kasusnya Sashi ya, Mi?" tanya Gus Omar saat suasana sudah tenang. Mereka duduk di kursi tunggu depan UGD.

Umi mengangguk sebagai jawaban. "Omar," panggil Umi sebelum bibirnya terbuka mengeluarkan sebuah pertanyaan. "Bagaimana kalau memang benar Sashi yang melakukannya?"

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang