Aku dan Sugus sudah kembali lagi ke pesantren. Kami tiba pada pukul lima sore tadi, sedangkan saat ini sudah melewati waktu Isya tepatnya pukul delapan malam. Tiba-tiba saja aku kepingin makan Indomie soto ditambah telur setengah mateng dan juga irisan cabe rawit yang banyak. Mengingat selama di pesantren aku nggak pernah memakan makanan favorit sejuta umat itu.
Sugus ternyata menawarkan diri untuk membuatkan aku mie instan. Akhirnya aku hanya melihat dari belakang sambil menatap punggungnya. Bukannya aku nggak bisa masak mie instan ya gaes, bisa-bisa aku dicoret dari kartu keluarga sama Bunda kalau membuat mie instan saja nggak bisa. Iya, Bundaku sekejam itu. Huhu.
Mie instan sudah matang. Sugus juga membuat satu porsi untuknya. Mie buatan Sugus ini nggak kalah enak sama buatan abang-abang warkop.
Saat kami sudah menghabiskan mie, Umi datang menghampiri. Seperti biasa, Umi selalu menampakkan senyumnya. Membuat aku merasa nyaman, dan nggak tertekan karena satu atap bersama dengan ibu mertua.
Umi duduk di kursi sampingku. "Gimana habis main ke Momoory?" tanya Umi padaku.
"Seru Umi, Sashi senang banget," jawabku antusias. Bagaimana nggak senang, selama ini aku seperti di penjara nggak bisa menghirup udara segar.
"Katanya Sashi mau sebulan di sana, Mi," ucap Sugus yang langsung aku sanggah.
"Yeee bohong, Umi. Itu maunya Gus." Aku berikan ia tatapan maut, tapi bukannya takut Sugus malah tertawa. Nyebelin! Tapi saat Umi melihat ke arahku, aku langsung memasang senyum manis yang kaku.
"Oh ya," kali ini Umi menghadap ke arah Sugus. "Umi dapat amanat dari Abi, besok temani Umi dan Abi ke pesantren cabang lain ya, Nak. Selama pembangunan kan kami nggak pernah mengontrol ke sana."
"Insya Allah, Umi." Sugus menganggukkan kepala.
"Sashi juga boleh kalau mau ikut, Nak." Tatapan Umi berpindah ke arahku.
"Emm maaf Umi Sashi nggak bisa." Aku sudah beberapa hari ini nggak berada di pesantren, kalau ikut akan semakin lama dan bisa saja menambah kecurigaan teman-teman. "Mungkin bisa lain kali saja, Umi.
"Yasudah tidak apa-apa, Nak."
Syukurlah Umi mengerti, dan tidak lama kemudian beliau pamit.
Sepeninggalan Umi, kami juga kembali ke kamar. Rasanya tubuh ini sangat merindukan kasur dan ingin sekali rebahan. Perjalanan lumayan menguras tenaga karena sempat macet akibat buka tutup jalan.
Tapi detik ini juga aku harus kembali ke asrama. Karena sudah hampir tiga hari aku nggak ke sana. Meskipun tubuhku sudah lelah, aku harus mempersiapkan barang-barang untuk keperluan besok namun seseorang tiba-tiba saja menginterupsi.
"Mau kemana?" tanyanya seraya kebingungan melihatku memegang ransel.
"Mau balik ke asrama, Gus. Kenapa?"
"Biar malam ini istirahat saja di sini, besok baru kembali ke asrama." Loh kenapa gitu? "Besok dan beberapa hari ke depan kan kita nggak akan bertemu."
"Memangnya Gus mau ke luar kota berapa hari?"
"Umi dan Abi kemungkinan seminggu di sana, khusus saya kapan saja bisa pulang kalau kangen istri."
"Yeeeee," protesku, ia hanya terkekeh saja.
Akhirnya aku memutuskan bermalam di sini. Mengingat tubuhku butuh istirahat dan kasur di sini lebih empuk dari pada di asrama, meskipun aku harus pasrah saat dijadikan guling hidup oleh Sugus.
*****
Matahari baru saja terbit di ufuk timur saat aku kembali ke asrama. Aku memutuskan ke asrama terlebih dahulu sebelum ke kelas karena masih terlalu pagi. Sugus, Umi, dan Abi sudah berangkat sekitar lima belas menit yang lalu. Keadaan asrama masih sama seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...