"Kenapa? Hmm?" Suara Sugus membuyarkan lamunanku akan Dwi. Bayangan selama ini kami bersama berputar seperti film begitu saja. Rasanya masih nggak mengira bahwa dia sudah tiada secepat itu, dengan kondisi jenazahnya yang memprihatinkan. Kadang aku berpikir, kalau saja waktu itu ada orang lain yang melihatnya mendekati danau dan menolong saat penyakitnya kambuh, pasti semuanya nggak ada seperti ini.
"Nggak apa, Gus," jawabku dan memasang senyum. Aku rasa Sugus melihatnya dari pantulan cermin. Aku juga teringat isi diarynya, betapa Dwi sangat mencintai suamiku ini.
Mengapa keadaannya serumit ini? Andai saja ayah nggak memasukkan aku ke pesantren, aku yakin keadaannya akan baik-baik saja. Aku nggak akan menikah, Dwi nggak akan meninggal, dan juga Abi nggak masuk rumah sakit. Ya Allah, kalau semua ini karena salahku, aku mohon maaf.
"Kalau ada yang ingin dibicarakan, saya siap mendengarkan," tawarnya. Aku mendengus, sepertinya ia tahu ada yang sedang aku pikirkan.
"Nggak ada, Gus. Ayo cepat siap-siap, katanya mau jenguk Abi." Aku mengalihkan topik.
"Saya sudah siap, kamu yang belum pakai kerudung."
Sebuah cengiran muncul, iya juga ya. Aku segera memakai jilbab yang sudah kusiapkan.
Setelah itu kami berjalan beriringan ke ruang tamu. Sesampainya di sana Ustadz Abas muncul bersama dengan dua orang yang sangat aku rindukan.
"Maaf Gus, ada yang ingin bertemu dengan Ning Sashi," ucap Ustadz Abas.
"Bundaaa," panggilku. Tanpa sengaja aku melihat ekspresi Ustadz Abas sedikit terkejut. Aku jadi ingat, waktu itu Ustadz Abas ingin meminta nomor ponsel orangtuaku untuk melamar. Sekarang mereka benar-benar ada di dekatnya.
Aku berlari menubruk tubuh Bunda. Belum sempat aku memeluknya, tangan Bunda mendarat di telingaku yang tertutup jilbab. Ia menjewer aku dengan kencang.
"Aduh, ampun Bunda, ampuun," rintihku. Sudah lama nggak ketemu denganku, bukannya disayang-sayang, bunda malah memperlakukanku seperti itu. Huh.
"Bunda kuping Sashi mau copot!" Setelah mengatakan itu bunda baru menjauhkan tangannya dari telingaku.
"Kalian ini, bisa-bisanya sembunyiin sesuatu yang besar dari kami!" jengkel bunda.
"Sembunyiin apa, Bun?"
"Kamu masuk penjara, tapi kami nggak ada yang tahu," jelas bunda berapi-api. Sedangkan ayah stay calm. "Kamu juga!" bunda menunjuk Sugus dengan dagu, sepertinya bunda juga marah dengannya.
"Bunda, itu permintaan Sashi. Gus nggak salah," jelasku.
"Biar saya jelaskan Ayah dan Bunda," Sugus bersuara. Syukurlah setelah mendengar itu bunda jinak lagi. Kami berempat duduk di kursi ruang tamu, sedangkan Ustadz Abas pergi meninggalkan ndalem.
Sugus dengan tenang menjelaskan semuanya. Mulai dari kejadian malam itu, ditemukannya mayat Dwi di danau, laporan orangtua Dwi karena aku yang terlihat terakhir kali dengannya yang mengharuskan aku harus dijemput paksa oleh polisi, hingga permintaanku yang merahasiakan ini dari ayah dan bunda karena takut dicoret dari kartu keluarga.
"Lalu bagaimana Sashi bisa dibebaskan?" tanya ayah yang bersuara kali ini.
"Sebenarnya Sashi baru dugaan sementara. Karena dia yang terlihat di CCTV bersama korban terakhir kali. Orangtua korban meminta Sashi ditahan sementara agar Sashi tidak kabur sampai semuanya terungkap."
Ayah dan bunda kompak mengangguk ngerti.
"Ayah Bunda tahu berita ini dari mana?" tanyaku.
"Bunda nonton press conferencenya di tivi," jawab bunda ketus. "Bisa-bisanya kalian, Bunda tahu sendiri masalah yang sangat besar ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...