Bertemu Alan Lagi

40.6K 6.4K 687
                                    

"Bulan, kan?"

"Gue Sashi bukan bulan."

"Lo nggak tau ya? Arti nama lo dalam bahasa Sansekerta itu kan bulan."

Aku masih ingat betul, siapa orang yang memanggilku dengan panggilan bulan. Nona Bulan. He is the one and only who called me Nona Bulan.

Alan.

Pacarku itu, —hhm bukan— sekarang aku bingung akan statusku dengan Alan bagaimana. Dibilang pacar, tapi aku sudah punya suami. Dibilang mantan, aku dan Alan belum putus. Someone, help me please.

Tubuhku terasa kaku. Seperti ada orang yang menyiramku dengan air es yang sangat amat dingin. Untuk menarik bibir supaya tersenyum saja rasanya tidak sanggup, apalagi harus melangkahkan kaki ke arahnya.

Alan sedang menatap ke arahku dengan tersenyum. Aku perhatikan bahwa tubuhnya sudah lebih baik sejak terakhir kali kami bertemu. Mata itu sudah tidak sayu lagi dan pipinya sedikit berisi. Hanya saja ia tengah memegang selang infus di tangannya dan dia memakai baju pasien. Alan kenapa?

Pertanyaanku itu terjawab saat ia membuka suara. "Aaah cuma tipes aja, kok," katanya dengan gaya bicara yang santai. Masih seperti yang dulu. Alan tidak berubah. "Tadi aku jalan-jalan ke taman, abisnya di kamar doang bosen. Kalau Nona Bulan ngapain di sini? Aru bilang kamu belum tahu kalau aku sakit."

"Aah itu aku, aku pengin bertemu Ayah," jawabku gugup. Ayah mertuaku maksudnya. Aku nggak bisa meneruskan kata itu, dan hanya bicara dalam hati. Nggak mungkin aku bilang yang sebenernya dalam kondisi yang seperti ini. Alan, mengapa kita bertemu di waktu yang tidak tepat?

"Oh iya, Ayah kamu tugas di sini ya? Kok nggak nanganin aku ya?"

"Kan Ayah aku dokter kandungan, Alan. Kamu kan tipes, bukan mau melahirkan."

Alan terkekeh mendengar ucapanku. Satu tangan yang tidak memegang tiang infus menarik lenganku. Aku ingin melepasnya namun begitu kuat. Alan membawa aku ke kamar rawatnya. 

Karena Alan berada di kelas 3, ada dua bed yang terisi. Sisanya masih kosong.

"Assalamu'alaikum Nek Fitri, kenalin ini Sashi pacarnya Alan," ucap Alan pada pasien lain yang berusia baya.

"Sashi, ayo kenalan sama nenek Fitri. Nenek Fitri udah anggap aku cucunya sendiri, otomatis kamu juga sekarang jadi cucunya."

Mau nggak mau aku mengulurkan tangan. Aku cium punggung tangan yang sudah keriput itu, nenek tersenyum. "Kemana saja baru kelihatan? Setiap malam Alan selalu cerita tentang kamu. Nenek jadi nggak kesepian."

"Ah itu nek, Sashi diculik alien makanya baru ke sini." Alan yang menjawab. Aku cubit saja lengannya itu. Bisa-bisanya bicara begitu pada nenek Fitri.

Aku dan nenek jadi mengobrol. Ternyata nenek terkena wasir dan besok nenek dijadwalkan operasi. Tapi yang buat aku sedih, satu pun dari anak-anak ataupun cucu nenek tidak ada yang menemani, mereka sibuk bekerja. Nenek hanya ditemani kakek yang sekarang sedang pulang ke rumahnya untuk mengambil keperluan nenek. Semoga nanti setelah aku dewasa, sesibuk apapun aku bisa menemani ayah dan bunda di hari tua. Minimal keduanya tidak merasa ditinggalkan. Pekerjaan bisa ditinggalkan sejenak, tapi waktu bersama orangtua sangat singkat.

Setelah berbincang dengan nenek Fitri, Alan menarikku untuk ke bednya. Dia meletakkan tiang infus di tempat semula kemudian duduk di petiduran, seperti yang aku sarankan. Biasanya orang yang terkena tipes itu lemasnya bukan main, tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Alan.

"Makasih ya," ucap Alan tiba-tiba. Aku mendadak kebingungan harus menjawab apa.

"Untuk apa?"

"Kata Aru kamu minta tolong dia buat pantau aku." Jadi si Aru benar-benar menepati janjinya. "Aru yang jemput aku saat keluar dari tempat rehab. Aru juga yang kirim aku ke rumah sakit ini. Aku jadi nyesel deh, selama dia menjabat jadi ketos, aku sering menghambat kerjanya. Setelah ini aku janji bakal jadi calon adik ipar yang baik buat dia," jelas Alan ditutup dengan kerlingan mata seraya menggodaku. Biasanya kalau digoda seperti itu wajahku langsung memanas dan dia akan semakin senang menggodaku karena pipiku yang memerah seperti udang rebus. Namun untuk kali ini, hatiku seperti tertohok karena hal yang Alan bicarakan itu tidak mungkin. Karena aku sudah menikah dengan laki-laki lain.

Namun untuk bicara jujur aku juga tidak bisa. Terlebih saat ini Alan sedang sakit dan aku tidak tega menghancurkan perasaannya saat kondisi fisiknya saja masih sakit. Bisa-bisa keadaan Alan semakin drop.

"Bumi sangat merindukan bulannya," lirih Alan.

***

"Dari mana saja?" Sugus yang pertama kali menyapaku saat aku ke kamar rawat abi.

"Hhm anu Gus." Aku berpikir sejenak mencari alasan. "Sashi abis ke toilet."

Aku mengintip ke pintu, kebetulan setengah pintu kamar abi kaca. Abi masih berbaring di bed di temani dengan Umi dan juga bunda.

"Aru gue pengen ngomong deh sama lo," ucapku pada kembaranku itu. Aku izin pada Sugus terlebih dulu, dan meminta waktu berdua dengan Aru. Untung lah Sugus mengerti, ia masuk ke dalam kamar rawat Abi, sedangkan aku mengajak Aru menjauh.

"Gue tadi ketemu Alan."

Aru nampak terkejut, namun detik berikutnya ia bisa mengendalikan diri.

"Terus?"

"Ya dia cerita semuanya ke gue."

"Kalo lo cerita semuanya ke dia?"

Aku menggeleng. "Waktunya belum tepat, Ru. Gua pusiiing."

"Terus mau sampe kapan kayak gini? Cukup sampe di sini aja ya gue nolong lo. Besok-besok nggak mau lagi deh." Aru mengangkat tangan pertanda menyerah. "Oh ya, gantiin tuh duit gue buat tagihan rumah sakit cowok lo."

"Berapa?"

"Sepuluh juta!"

Uceet. "Nggak ada potongan buat keluarga karyawan apa ya? Kan Ayah kerja di sini."

"Emang si Alan keluarganya Ayah?"

Iya juga ya. Oh iya aku ada ide. "Yaudah deh nanti gue gantiin."

"Gece. Buat beli PS 5 tuh duit. Pokoknya besok harus ada."

"Tenang aja sih yaelaah, ketakutan banget nggak gue bayar."

Aru menoyor kepalaku. "Nggak ada terima kasihnya lu udah ditolongin." Ya tapi nggak pakai noyor juga kali, Ru.

"Iya iya, besok gue bayar! Kecil sepuluh juta mah."

"Duit dari mana luh? Lo kan boros. Kalo punya duit bukannya ditabung malah beli makanan sama apatuh namanya, skincare."

"Duit mahar dari Gus Omar. Waktu nikah kan gue minta seratus juta. Dan masih gue simpen sampe sekarang."

Aru nampak terkejut memdengar ucapanku. "Gila, nggak nyangka gue kalo lo matre."

"Dih bukan gitu. Niatnya gue itu biar si Gus mundur nggak jadi nikahin gue. Eh malah disetujuin. Yaudah gue nggak bisa apa-apa lagi."

"Terus nanti kalo Gus nanyain duit itu gimana?" tanyanya.

"Nggak bakal lah. Kan duit mahar buat istri. Punya istri. Suami mah nggak punya hak lagi. Kecuali kalo istri ridho dimakan sama sama. Lagi juga si Gus itu ternyata tajir. Itu loh dia yang punya Momoory. Kalo gue tahu mah, nggak minta seratus juga. Tapi satu M."

"Bodo amat dah. Yang penting duit gua balik." Aru berjalan meninggalkan aku sendiri.

****

Gimana pertemuan kelen sama Alan gaes?

Kangen Alan nggak? Wkwkwk

Happy reading.

Luvvv

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang