Langit yang tadi berwarna biru, kini sudah berganti dengan jingga keemasan saat aku kembali ke pesantren. Seperti saat pergi, pulangnya pun aku harus kucing-kucingan saat kembali ke ndalem. Bukannya membantu, Sugus malah menikmati permainan petak umpat ini seraya mencibir, "Nggak enak kan nikah diam-diam? Coba saja pernikahan kita nggak dirahasiakan, kamu bisa bebas dan nggak main kucing-kucingan seperti ini." Aku hanya menyikut lengannya saja sebagai respons ucapan Sugus.
Sebelum kembali ke asrama, aku memilih untuk membersihkan tubuhku di toilet kamar Sugus. Mumpung Sugusnya sedang di luar dan juga aku malas kalau harus antre bersama dengan santriwati lainnya, aku manfaatkan saja peluang yang ada. Kalau di sini kan aku bisa berlama-lama luluran dan keramas, kalau di toilet umum boro-boro. Baru buka baju saja pintu sudah diketuk dari luar.
Aku bersenandung kecil saat keluar dari kamar mandi. Rasanya menyegarkan sekali setelah seminggu nggak keramas. Kuusap-usap rambut basahku dengan handuk, supaya airnya menyerap. Sudah ku cari hairdryer, tapi sepertinya Sugus nggak punya.
"Tuhan kucinta dia, kuingin bersamanya. Kuingin habiskan napas ini berdua dengannya." Aku bernyanyi seraya memegang sisir di depan bibir, seolah aku sedang konser tunggal. Aku melihat pantulan diri sendiri di cermin. Seperti biasa, Sashi Liem memang selalu cantik walau dengan rambut yang masih lepek. "Jangan rubah takdirku. Satukanlah hatiku dengan hati ... Sugus? Sejak kapan di situ?"
Kontan nyanyianku berhenti, dan tubuhku refleks berbalik ke arah orang yang sedang terkekeh. Dia merubah posisi dari yang tadinya terduduk di pinggir petiduran, menjadi berdiri dan berjalan mendekat ke arahku. "Sejak kamu ber-hhmm hhmm dari kamar mandi."
Ha? Kok bisa aku nggak sadar keberadaan Sugus? Memang ruangan ini gelap. Cahayanya hanya remang-remang saja. Apa minus di mataku sudah bertambah, ya? Jadinya nggak melihat adanya Sugus.
Tanda tanya di pikiranku terhenti saat Sugus tiba-tiba memegang handuk di kepalaku dan mengusapnya seperti apa yang tadi kulakukan. Semesta kok aku seperti nggak menginjak bumi, ya? Apalagi saat Sugus mengambil alih sisir di tanganku dan menyisiri rambutku dengan lembut. Rasanya seperti melayang ke luar angkasa.
"Ih ada kutu," serunya.
He? Sejak kapan aku punya kutu?! "Enak saja! Sashi nggak ada kutu, Gus!"
Aku memberengut sebal, sedangkan Sugus malah terkekeh. Kalian perhatikan nggak sih, hari ini Sugus banyak terkekeh. Mungkin obatnya habis kali, ya?
"Kalau belum ada kutu dan penyakit kulit belum afdol jadi santri," ucapnya dengan santai. Dia masih saja menyisiri rambutku. Aku jadi curiga, jangan-jangan Sugus kepengin punya rambut panjang.
"Iiih masa, sih?! Gus jangan nakut-nakutin deh!"
"Makanya sering-sering tidur di ndalem saja, ya."
Hm, sepertinya aku mencium aroma modus di sini. "Gus itu seperti angka yang paling sering keluar deh."
"Hah maksudnya?" Sugus kebingungan. Memangnya enak aku kerjain.
Aku berjalan ke arah lemari, mengambil khimar yang sudah kuletakkan beberapa di sana. Saat ingin bercermin, tubuh besar Sugus menutupi cermin yang ada di meja rias.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya.
"Ya ke asrama lah, Gus. Sudah hampir seminggu kan Sashi nggak tidur di sana."
"Besok saya mau ke luar kota." Terus? Apa hubungannya denganku? "Malam ini kamu di sini ya, besok saja ke asramanya," pintanya.
Duh bagaimana ini, mana Sugus terlihat seperti memohon sekali. Aku menghela napas sejenak. "Ya sudah deh. Sashi tidur di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...