"Kamu hati-hati, ya, Han. Nanti kalau sudah sampai kabarin kami," kataku pada Hani. Kami bertiga berada di depan ruang pengurus untuk mengantar Hani pulang kampung.
"Ngabarin bagaimana, Sas? Kan kita nggak pegang hp," sela Dwi.
"Iya juga sih." Aku terkekeh menertawakan kebodohanku. Hani memeluk kami satu persatu, dimulai dari Dwi, Leni dan terakhir aku.
Masih dalam posisi berpelukan, Hani berbisik, "Terima kasih ya, Sashi. Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikanmu." Aku mengamini dalam hati.
Setelah adanya penolakan, akhirnya Hani menerima juga bantuan dariku. Itupun harus melewati perdebatan yang cukup lama.
Kak Sari yang akan mengantarkan Hani ke stasiun sudah memberi aba-aba kami harus berpisah. "Fii amanilah, Haniii," ucap kami sekali lagi, mengantarkan kepergiannya. Setelah itu kami memutuskan untuk berjalan ke gedung madrasah, karena sekolah akan segera dimulai.
Kehilangan itu episode paling menyakitkan dari kehidupan, apalagi harus kehilangan orang-orang tersayang. Aku rasa nggak ada satu pun manusia yang siap menghadapinya. Tapi namanya hidup, ada pertemuan ada perpisahan. Ada yang datang dan ada yang pergi. Ada kehidupan dan juga ada kematian. Itu semua sudah menjadi hukum alam, bukan? Suatu saat nanti pasti akan mengalaminya, tinggal menunggu saat yang tepat. Ditinggalkan atau meninggalkan.
Kami bertiga berjalan melewati lorong pesantren. Sesekali berpapasan dengan santriwati yang lain, aku melempar senyum. Saat ini aku sudah bisa beradaptasi dengan baik, karena dipertemukan dengan teman-teman yang baik.
"Sashiii." Langkah kami terhenti dan kontan menghadap ke sumber suara. Maura berjalan mendekat, kami pun saling pandang.
"Mau apa si Maura manggil kamu, Sas?" tanya Leni. Aku mengendikkan bahu, sama nggak paham dengannya.
"Pagi-pagi udah caper," desis Dwi pelan yang aku tangkap sampai ke gendang telinga.
"Kamu dipanggil Ustadz Abas ke ruang guru," serunya. Ha? Ada apa ya ustadz Abas memanggilku? Apa aku melakukan kesalahan? Atau karena aku mengabaikannya kemarin? Aduh, kok mendadak aku jadi takut ya?
Leni dan Hani menatapku seolah bertanya ada apa. Aku pun menggeleng. Aku saja nggak tahu.
Akhirnya aku berpamitan pada keduanya dan segera berjalan ke ruang guru.
Sesampainya di ruang guru, aku berjalan mendekat ke meja Ustadz Abas. Di sana sudah ada Fika dan satu orang yang nggak aku kenal. Ternyata Ustadz Abas juga nggak sendiri, ada Ustadzah Hilya diantara mereka.
"Ustadz manggil Sashi?" tanyaku begitu sampai.
Ustadz Abas memperbaiki duduknya kemudian berdehem sebelum berkata, "Iya." Jeda beberapa detik. "Kamu pernah ikut olimpiade matematika?"
Aku mengangguk kemudian terdengar suara helaan napas lega dari ustadz Abas maupun ustadzah Hilya. Ada apa sih?
"Jadi begini, kamu diminta untuk ikut Olimpiade Sains Nasional bersama Fika dan Intan. Kalian akan satu tim."
Refleks kepalaku menghadap ke arah kulit lengkuas, ternyata dia juga pintar. Aku baru tahu. Tapi pujianku barusan harus aku ralat setelah melihat wajahnya asem seperti kecombrang.
"Tapi kan Sashi sudah kelas dua belas, Tadz."
"Ya memangnya situ aja yang kelas dua belas?" celetuk kulit lengkuas. Kalau saja nggak ada ustadz Abas dan ustadzah Hilya sudah aku sumpal mulutnya itu.
"Insya Allah nggak akan mengganggu belajar kalian di kelas dua belas. Pelatihan olimpiade setelah pulang sekolah. Lagi pula kalian ini sudah pernah ikut olimpiade, kan? Jadi tidak begitu sulit," jelas Ustadzah Hilya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...