Untuk pertama kali dalam hidup, aku benci ayah!
Aku mengangkat tubuhku sambil menyeka air mata hingga tak bersisa. Daguku terangkat dengan dada yang membusung. Aku nggak boleh lemah! Aku nggak boleh nangis! Aku harus buktikan pada mereka kalau aku kuat tanpa mereka. Lihat saja, nanti aku akan buat mereka menyesal sudah meninggalkanku di tempat aneh ini.
"Mbak Sashi, mari saya antar ke kamar, Mbak."
Satu pengurus wanita menyusulku dengan tergopoh-gopoh. Dia menuntunku dengan sabar. Sebelum meninggalkan tempat ini, kepalaku menengok lagi ke belakang, masih berharap ada keajaiban mobil ayah datang lagi. Tapi itu hanya dalam anganku saja, mana mungkin ayah melakukannya. Toh dia sudah membuangku di sini.
"Hm kenalkan, Mbak, saya Sari," ucapnya dengan mengulurkan satu tangan. Wajahnya semakin manis ditambah senyum yang mengembang.
"Sashi." Aku membalas uluran tangannya dan menyebut nama dengan ogah-ogahan. Moodku masih buruk, nggak mau banyak omong dulu.
Kami berjalan melewati sebuah gedung lantai empat membentuk huruf L, Sari bilang itu adalah asrama putra. Pantas saja dari tadi para santri berseliweran lewat. Saat berpapasan dengan kami, mereka melihat sejenak kemudian menunduk. Beberapa kali aku mendengar ada yang beristigfar tapi lirih, nyaris tidak terdengar. Kenapa sih memangnya? Apa mereka menganggap aku setan?
Kemudian kami berjalan melewati danau dan aku memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang berjejer. Kata Sari nama danau itu adalah danau Rindu. Entah karena pembatas antara asrama putra dan asrama putri, atau karena biasanya di pinggir danau itu orangtua yang menjenguk anak mereka bertemu di sini, selain di kantor. Mendengar penjelasan Sari, sejenak aku bisa melupakan masalahku.
"Capeknya sudah hilang belum, Mbak? Mau jalan lagi?"
Aku mengangguk. Kami melanjutkan perjalanan menuju asrama putri.
"Kalau ini namanya Ndalem, Mbak," jelas Sari saat kami melewati gedung seperti rumah, berbeda dengan gedung yang sejak tadi aku lihat.
"Ndalem? Ruangan apa, Mbak? Kalau dilihat kayak rumah, ya?"
Sari terkekeh mendengar pertanyaanku barusan. "Memang rumah, Mbak. Ndalem itu rumah pemilik pesantren ini."
Aku ber-O ria. "Maaf gue nggak tahu."
Sari terkekeh lagi, "Tenang aja, Mbak. Nggak papa, kok."
Tanpa terasa kami sudah sampai di gedung 4 lantai berbentuk U. Sari bilang jumlah santriwati lebih banyak daripada santri. Makanya gedung santriwati lebih besar.
Kami menaiki anak tangga. Ternyata kamarku ada di lantai 4. Ya ampun, bisa-bisa setelah pulang dari sini, betis cantikku berubah ada konde di belakangnya. Big NO!
"Nah, ini kamar Mbak Sashi," tunjuk Sari pada kamar yang berada paling pojok. Aku sempat menengok ke dalam dari jendela, kamarnya sempit, mungkin lebih besar kamarku di rumah.
Tiba-tiba muncul tiga cewek dari dalam dan menyapa Sari lantas Sari membalasnya. "Kenalkan ini Sashi, teman sekamar kalian."
What? Tunggu dulu! Maksudnya sekamar berisi empat orang? Aku nggak mau!
"Nanti kamu tidur di sini bersama mereka." Sari seperti mengerti pertanyaanku dalam hati. "Saya permisi dulu, semoga betah di sini ya," ucap Sari sambil menyunggingkan senyum. Selanjutnya dia pergi meninggalkanku bersama tiga perempuan yang berdiri di belakang pintu.
"Hai kok bengong sih? Ayo masuk." Cewek berjilbab biru mengejutkanku. Gerakannya begitu tiba-tiba sekarang dia sudah menarik koperku dan memasukkannya ke dalam kamar. Mau nggak mau aku pun masuk, dan sisanya menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Духовные⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...