Sugus Mulai Gombal

156K 13.9K 2.1K
                                    

Bola mataku hampir copot dari tempatnya kalau saja nggak ada kelopak yang menahan. Dua orang yang sangat aku hormati itu berdiri kaku di tikungan perbatasan ruang tamu dan bagian dalam ndalem setelah memergoki ulah kami -ulahku- yang seperti bebek. Main sosor saja. Aku melirik Sugus, sama sepertiku yang salah tingkah. Tapi ia masih bisa mengendalikan diri.

Duh, bagaimana ya caranya menghilang secepat kilat?

Aku bangkit dari duduk memasang wajah tembok untuk menghampiri keduanya. Lantas aku cium satu persatu punggung tangan mereka, seperti yang aku lakukan pada ayah dan bunda. "Sashi kira Umi sama Pak Kiayi masih di luar kota," ucapku berniat mengalihkan perhatian.

"Sudah pulang dari jam 9, Nak," jawab Pak Kiayi disertai dengan deheman. Umi yang ada di sampingnya hanya tersenyum. Jenis senyuman menggoda.

Kok Sugus nggak bilang sih? Tau mereka sudah pulang aku nggak akan cium-cium seenaknya.

"Umi, Pak Kiayi, Sashi pamit ke asrama dulu ya." Kabur adalah satu-satunya cara yang harus aku ambil sekarang. "Assalamu'alaikum." Aku langsung berbalik arah dan mengambil langkah seribu. Terdengar suara balasan salam dari keduanya. Setelah itu aku benar-benar meninggalkan ndalem.

Biarkan Sugus yang menghadapai kedua orangtuanya. Entah akan dimarahi, diceramahi, atau diapakan yang aku nggak tahu. Aku yakin Sugus dapat menghadapinya.

Sepanjang perjalanan aku terus menepuk bibirku ini. Bisa-bisanya benda tipis ini main sosor saja tanpa tahu situasi dan kondisi. Masih untung yang melihat ulahku Umi dan Pak Kiayi, karena mereka tahu statusku dan Sugus. Andaikan para santriwati atau asatidz entah setelahnya aku akan jadi apa.

Sugus menciumku dua kali, tapi nggak ada yang melihat. Sedangkan aku, baru satu kali itupun di pipi, langsung terciduk. How lucky he is.

Seperti yang aku bilang pada mertuaku, aku kembali ke asrama. Para santriwati sudah selesai mengerjakan ujian dan saat ini tengah bersiap untuk shalat zuhur.

"Dari mana, Sas?" tanya Hani saat pertama kali melihatku memasuki kamar. Dwi dan Leni masih sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Dari perpus, Han," jawabku berbohong. See, sekali berbohong akan ada kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Andaikan dari awal aku nggak menutupi statusku, mungkin aku bisa leluasa keluar masuk ndalem. Ah, tapi mungkin juga keadaannya akan lebih parah dari ini kan? Mengingat trending topic nomor satu pesantren sudah menjadi milikku. Dan mengingat persaingan mencari jodoh semakin ketat.

"Yasudah Sas siap siap, kita mau ke masjid," lanjutnya.

Dwi dan Leni sudah siap dengan mukenanya, begitu juga dengan Hani. Sedangkan saat aku melihat diriku sendiri, masih memakai seragam sekolah. Kasihan mereka nanti terlalu lama menungguku.

"Kalian duluan aja deh ke masjid. Aku mau ganti baju dulu," kataku pada ketiganya.

"Beneran, Sas?" tanya Dwi memastikan. Aku jawab menggangguk.

"Yasudah kita duluan ya. Nanti aku tapin Sas." Kali ini Leni yang bersuara. Aku tersenyum seraya menyatukan ujung ibu jari dengan jari telunjuk membentuk huruf O. Maksudnya Oke!

Aku sendiri di kamar dan memilih mendudukkan diri di ranjang. Jujur, rasanya masih malu saat mengingat kejadian tadi. Pokoknya aku nggak boleh ke ndalem beberapa hari ini. Titik!

Suara adzan mulai berkumandang. Jika diperhatikan nadanya berbeda dengan biasanya. Kali ini begitu indah, lembut namun tegas. Hatiku terasa sejuk seperti tersiram embun pagi. Tanpa aku sadari, setetes air mataku jatuh ke pipi. Ya Allah, siapakah orang yang adzan itu?

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang