Baru saja kemarin aku selesai olimpiade, seperti nggak diberikan kesempatan bernapas barang sedikit pun, hari ini aku mendapat kabar kalau minggu depan adalah pekan ujian.
Mendengar kata ujian, berhasil membuatku setress setengah hidup. Pasalnya ujian di sini bukan hanya di sekolah saja, tetapi juga di Madrasah Diniyah. Ujiannya terdiri dari ujian tulis, dan ujian lisan dengan materi bahasa Inggris, bahasa Arab, dan Al-Qur'an.
Setelah tanggal ujian ditetapkan, kalau aku perhatikan khususnya teman-temanku mendadak alim. Biasanya shalat Dhuha hanya empat rakaat saja, tetapi sekarang dua belas rakaat. Mereka juga lebih hormat kepada asatidz yang lewat. Katanya sih, supaya ilmunya ngalir dan berkah. Kami juga sudah memutuskan kalau hari senin dan kamis akan puasa sunnah. Ketika ada waktu lenggang, selain belajar, baca qur'an ditingkatkan. Selain itu, waktu istirahat yang biasanya digunakan untuk ke kantin atau mengantre makan siang, kami gunakan untuk ke maktabah. Benar-benar, the power of exam!
"Kamu sih enak, Sas, udah pintar dari lahir. Yaa jadi nggak susah-susah banget," ucap Dwi dengan polosnya. Nggak tau aja si Jubaedah itu, aku juga deg-degan banget denger kata ujian.
"Sama aja Bambank! Aku juga kan nggak paham yang kitab-kitab. Jangankan paham, bacanya aja nggak ngerti!"
Oke lah kalau pelajaran di sekolah aku masih bisa sedikit lebih tenang, tapi kalau di Madrasah Diniyah, mau bernapas saja rasanya susah. Memang aku tertinggal jauh dari mereka, aku baru di kelas awal yang setara dengan menengah pertama. Sedangkan mereka sudah ditahap akhir.
Sejak sekolah dasar sampai menengah atas aku terbiasa di sekolah umum. Jangankan ada pelajaran bahasa Arab, pelajaran Agama pun hanya dua jam seminggu. Kalau Bunda nggak rajin-rajin ngajak aku ikut kajian, mungkin jiwaku mati karena nggak dapat siraman rohani.
"Bambank siapa, Sas?" tanya Leni yang nggak kalah polosnya. Sudah dibilang, di sini itukan negeri antah berantah, percuma aku menjelaskannya.
"Yasudah-yasudah, ayo kita lanjut ke perpus." Hani menengahi. Akhirnya kami berempat meneruskan untuk berjalan ke tempat awal yang kami niatkan.
"Eh ada Gus Omar, ada Gus Omar!" pekik Dwi heboh menunjuk ke arah jam dua dari tempat kami berada. Netraku secara otomatis melihat apa yang Dwi tunjuk. Dan benar saja, di sana Sugus sedang mengobrol berdua dengan Ustadz Abas.
Aku mengulum bibir, tiba-tiba saja bayangan tadi pagi muncul. Aish! Lebih parahnya lagi, kalau ingin ke perpus harus melewati keduanya.
COBAAN MACAM APA INI YA ALLAH?!
"A-aku nggak jadi ke perpus deh, mendadak kok sakit perut." Alibiku.
"Yaah kok gitu, Sas?" tanya Hani dengan raut wajah kecewa.
"Kayaknya kamu sehat-sehat aja deh," timpal Leni. Kalau Dwi nggak usah ditanya, dia hanya senyum-senyum sendiri sambil melintir ujung jilbabnya. Persis seperti cewek kesemsem yang ketemu gebetan.
Masalahnya aku tuh belum siap ketemu Sugus lagi sejak pencurian ciuman pertama. Tadi pagi aku beruntung, saat aku pulang dari masjid setelah Subuh, sampai berangkat ke sekolah, Sugus nggak kembali ke ndalem. Entah kemana ia aku nggak tau. Dan sekarang malah bertemu di lorong ini.
"Sas, ayo!!"
Aku nggak bisa berbuat banyak saat Hani menarik lenganku. Sepanjang perjalanan aku hanya menunduk dan berpikir andai aku bisa berubah wujud jadi transparant agar Sugus maupun Ustadz Abas nggak menyadari kehadiranku.
Ya Allah tolongin Sashi ya Allah. Tolongin Sashi...
"Shabahul khair, Gus, Ustadz."
Aish! Bisa-bisanya ketiga temanku ini menegur mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...