Pertanyaan Tanpa Jawaban

108K 11.1K 461
                                    

"Ayo, Ayah pasti menang!"

"Pastinya dong, Cinta."

Terdengar suara ayah dan bunda dari luar. Aku menarik napas dalam, mengatur pasokan oksigen yang masuk ke dalam rongga dadaku agar nggak sesak lagi. Setelah itu aku pastikan nggak ada air mata yang tersisa, baik itu di kedua mataku atau di pipiku. Kemudian aku berjalan menghampiri mereka.

"Kalau gitu Sashi dukung Gus." Mereka beralih memandangku yang muncul dari balik pintu. Aku melirik Sugus, dia tengah tersenyum. "Se-ma-ngat!" ucapku tanpa suara dan hanya melalui gerakan bibir ditambah satu tangan mengepal ke udara. Senyuman Sugus bertambah lebar, aku pun membalas melempar senyum pula.

"Ekhem!" Itu suara deheman ayah yang membuat kami mengalihkan pandang.

Ayah dan Sugus kemudian mulai mengatur bidak-bidak catur di atas papan kotak-kotak berwarna hitam-putih. Aku dan bunda siap menjadi tim hore mendukung suami-suami kami bertarung. Bahkan bunda kini sudah berada di balik punggung ayah sambil memijat pundaknya.

"Semangat ya ayang Ayah," ucap bunda yang membuat perutku mulas.

"Doakan Ayah supaya menang ya, Cinta," balas ayah yang membuatku benar-benar ingin muntah. Kamera mana kamera? Tolong, aku nggak kuat!

Kurasakan seseorang menoel-noel lenganku, sontak aku langsung menghadapnya. "Ada apa, Gus?"

"Kepingin."

"Apa?"

Alis Sugus naik satu, dia memberi isyarat ke arah ayah dan bunda. He? Maksudnya Sugus ingin aku lebay seperti mereka gitu? BIG NO!

Agar Sugus tahu rasa, kulayangkan tatapan maut padanya.

Permainan akan dilaksanakan dalam durasi 90 menit dalam 30 langkah. Sugus yang memulai permainan lebih dulu dengan satu pion bergerak dua langkah. Selanjutnya Ayah memulai langkah awalnya dengan menggerakkan pion dua langkah pula, sehingga pion keduanya saling berhadapan. Sugus menggerakkan pion yang lainnya, sejajar dengan pion pertama. Tentu saja pion itu bisa dimakan oleh ayah. Memang dasar Sugus, baru menit pertama saja sudah kalah!

"Yeay, Ayah dapat satu!" seru bunda kegirangan. Ayah tersenyum ke arahnya sambil mengerlingkan satu mata. "Ji-double O-di-je-O-bi. Good job... good job!" Bunda mengeluarkan yel-yelnya heboh.

"Gus sayang ayo dong semangat." Aku juga nggak mau kalah dengan bunda dong, memangnya bunda saja yang seperti itu.

"Ada apa sih ini?" tanya Aru yang muncul dari pintu. Dia memakai kaos oblong dengan boxer dan rambut yang acak-acakkan. Aneh ya, begitu bisa jadi ketos.

"Sini Ru gabung," ajak bunda.

"Nggak ah, Bun. Mau belajar, besok ada ulangan harian."

"Masih zaman belajar?" Aku tertawa melihatnya yang nampak kesal. Sepertinya suasana hati Aru lagi nggak bagus. Kenapa tuh anak? Dia benar-benar nggak mau bergabung dengan kami, dan langsung masuk lagi ke dalam. Entah akan benar-benar belajar, atau itu hanya alibinya saja, aku nggak tahu.

Permainan catur masih terus berjalan. Kalau dilihat-lihat jumlah bidak catur yang dimakan masing-masing hampir sama, alias seri. Aku melihat ke arah Sugus, wajahnya berbeda sekali dengan ayah yang berpikir keras. Wajah Sugus nggak kelihatan berpikir sama sekali. Awas saja kalau sampai kalah.

"Skak!" Tuhkan benar, baru saja dibilang. Ayah yang memenangkan permainan ini.

Tentu saja ayah dan bunda kegirangan, bahkan bunda memeluk ayah sampai tubuhnya loncat-loncat. Sepertinya permainan ini nggak ada hadiah sama sekali, tapi kenapa reaksinya sampai seperti itu? Ah, memang bundanya saja yang lebay.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang