Kabar dari Langit

136K 11.8K 1.3K
                                    

Mendadak tubuhku kaku seketika. Wajahku disorot senter oleh salah satu dari tiga perempuan yang berhasil menghentikan rencana kaburku. Tatapan mereka sungguh menyeramkan, lebih-lebih dari wewe gombel yang ada di pohon bambu di belakang sekolahku dulu. Bunda, Sashi takut. Alan, tolong kirimkan pintu ajaib sekarang juga untukku.

"Pasti kamu mau kabur, ya?" tebak salah satu dari mereka yang bertubuh gempal.

"Iya." Ish, pakai keceplosan segala! "Eng—nggak! Gue cuma laper. Laper banget parah."

Tanpa banyak kata mereka langsung membawaku pergi dari tempatku berdiri. Entah ke mana. Mungkin aku mau di bawa ke pluto atau ke galaksi lain dari bimasakti ini. Nggak papa deh, asal pergi dari penjara ini, itu lebih baik.

"Lepasin, gue bisa jalan sendiri!" Aku meronta. Mereka memperlakukan aku layaknya habis maling jemuran tetangga. Nggak elit banget deh.

"Your language! Don't use lo-gue in this area!"

"Bunda tolooong!" Aku masih meronta minta dilepaskan. Kalau Alan yang memegang tanganku sih no problem ya. Dia nggak akan menyakitiku, paling cuma dielus-elus. Berbeda dengan dua orang yang sedang mencekal lenganku ini.

"Jaga suaramu! Nanti Umi bangun," ucap perempuan bertubuh gempal, saat kami mendekati area ndalem. Awas saja sih, aku akan ingat wajah mereka. Kalau mereka melahirkan dan ayah yang jadi dokternya, aku akan tukar anak mereka. Biar kayak judul sinetron. Rasain!

"Umiii tolong, Umiii."

Satu orang yang nggak memegang lenganku menutup mulutku dengan tiba-tiba. Asin. Untung saja nggak asem, kan nanti aku jadi curiga. Takut dia habis garuk-garuk ketek.

"Hmmp—" Belum sempat aku buka suara lagi, Umi muncul dari pintu. Beliau nampak bingung memperhatikan kami, khususnya aku yang dicekal habis-habisan.

"Ada apa ini?"

"Dia mau kabur, Umi."

"Bohong, Umi. Sashi lapar banget. Karena lapar itu Sashi nggak bisa tidur makanya Sashi keluar mau cari makan. Eh malah dituduh mau kabur," jelasku setengah berbohong setengah nggak. Aku benaran lapar, tapi juga pengin kabur. Kalau kata Alan, sambil berenang minum air, ketemu ikan, yaudah dibakar saja sekalian. Tidak lupa aku memasang wajah melas supaya meyakinkan. Untung saja aku pernah diajarkan cara akting sama Alan yang anak teater. Akhirnya terpakai juga.

"Yasudah Sashi makan saja di ndalem," putus Umi yang membuat ketiga perempuan berlagak sok polisi yang menghakimiku itu terkejut. Terima kasih semesta, malam ini engkau sedang ada dipihakku.

"Benar Umi Sashi boleh makan?" tanyaku antusias. Umi mengangguk dan tersenyum.

"Lepasin!" Akhirnya aku bisa melepaskan diri. Aku merasa menang karena dibela Umi.

"Yasudah kalian bisa bertugas lagi," ucap Umi. Ketiganya mengangguk dan berlalu pergi dari hadapanku. Hush sana! Pergi saja ke pluto, hihi.

"Kok Umi belum tidur?" tanyaku. Saat ini dihadapanku sudah ada berbagai macam makanan. Yang tadinya cacing di perutku cuma karaoke-an di dalam, saat ini mereka sudah berdemo menggedor-gedor dinding perutku tanpa belas kasihan. Saking kencangnya Umi sampai bisa mendengar suara mereka.

"Belum. Umi lagi nunggu Gus. Kepulangannya dipercepat, jadi malam ini."

Aku hanya mengangguk saja. Oh jadi sugus pulang sekarang, kalau Dwi tahu pasti bahagia banget tuh anak.

"Umi, Sashi makan ya?"

"Iya Sas, makan saja."

Ini sudah hampir tengah malam, aku cuek-cuek saja makan. Entah kutukan atau anugerah, sebanyak apapun aku makan, berat badanku tetap stabil. Yah aku tahu, sebagian cewek menganggap hal itu anugerah sih. Bahkan ada beberapa orang yang cuma mikirin mie instan saja jarum timbangan sudah geser ke kanan.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang