Dengan was-was aku duduk menunggu Alan yang sedang dipanggil petugas. Aku sudah nggak sabar melihatnya dan mengetahui kabarnya. Petugas tadi bilang aku harus menunggu lima menit, tapi rupanya waktu begitu jahat, ia bergerak sangat lambat bagi orang yang sedang menanti. Makanya hal paling aku benci adalah menunggu.
"Sashiii."
Aku menoleh ke sumber suara. Nggak jauh dari tempatku berada Alan berdiri memandangku setengah nggak percaya.
"Alan," lirihku. Hatiku lega mengetahui dia baik-baik saja. Hanya saja tubuhnya lebih kurus, terbukti dari pipinya yang menirus dan rahangnya mengeras. Kulitnya memucat dengan mata sayu, dan rambutnya sedikit kusut. Ada sedikit memar di ujung bibirnya, aku nggak tahu itu luka bekas apa.
Kini kami sudah duduk berhadapan. Kepala Alan terus menunduk, nggak berani menatapku.
"Hai, apa kabar?" Aku memulai pembicaraan. Waktu kami sangat terbatas, kalau hanya diam-diaman saja, semuanya nggak akan jelas.
"Baik," jawabnya dengan masih menundukkan kepala. Aku gemas ingin sekali mengganjal lehernya dengan sesuatu agar dia menatapku. "Maaf..."
Aku nggak menjawab ucapan maafnya itu, dan lebih memilih mengeluarkan sesuatu. Sebelum ke tempat ini, di perjalanan aku sempat membeli nasi rames untuknya. "Makanlah," ucapku seraya mengulurkan bungkusan makanan.
"Makasih." Tanpa banyak bicara lagi dia membuka bungkusan itu dan mulai memakannya. Sebelum Alan membuka mulut, dia sempat meringis, karena sudut bibirnya masih terluka. Aku nggak berani bertanya dia terluka karena apa, tapi aku bisa menebak pasti Alan mendapat pukulan dari Papanya.
Alan makan dengan lahap, seperti nggak makan beberapa hari. Di tengah-tengah acara makannya, setetes air mata jatuh berlanjut dengan tetes-tetes yang lain. Hujan turun begitu deras dari kedua matanya.
"Aku ada salah bicara ya, Lan?" Dia menggeleng. Alan masih tetap makan sambil menangis.
Hatiku ikut terluka melihatnya seperti ini. Biasanya Alan yang suka menghibur aku dan teman-temannya yang lain. Alan terkenal dengan candaannya yang jayus dan receh. Karena itu, seisi sekolah nggak ada yang tahu kisah hidup Alan yang begitu tragis selain aku. Alan berusaha menutupinya dengan topeng yang sangat tebal.
Dari Alan aku belajar, bahwa dia yang suka menghibur orang lain, ternyata lebih sulit menghibur dirinya sendiri.
"Maaf, aku baru jenguk kamu. Aku lagi dihukum Ayah. Hari terakhir kita bertemu, Ayah langsung memasukkan aku ke pesantren."
Alan sempat terkejut mendengar pengakuanku. Raut wajahnya menunjukkan rasa sangat bersalah. Hampir tiga tahun dekat, aku hapal ekspresi Alan meskipun dia nggak pernah bilang.
"Aku yang seharusnya minta maaf, Sashi," ucapnya. Saat ini Alan sudah menghabiskan makanannya. "Ucapanku 'kalau cinta itu menjaga, bukan merusak', kini sudah nggak terbukti. Aku sudah mengajakmu ke duniaku yang kelam. Aku minta maaf, Sas, aku minta maaf..."
Sejak pertama kali kata maaf terucap di bibirnya, aku tahu dia mengucapkan itu dengan penuh penyesalan. Aku pun tahu, saat ini Alan berada di titik terendah di hidupnya. Satu-satunya keluarga yang Alan punya pergi meninggalkan dunia ini, dan Alan harus mendapat hukuman sosial karena terjerat narkoba.
Aku meraih tangan Alan dan menggenggamnya erat seraya memberi kekuatan. Aku masih ada untuknya, aku nggak akan pergi meninggalkannya. Aku masih Sashi yang dulu, Sashi yang menjadi bulan bagi bumi. Bulan yang menyinari saat bumi berada dalam kegelapan.
"Setelah keluar dari tempat ini, berubahlah. Masa depan kamu masih panjang. Sekelam-kelamnya masa lalumu, masa depanmu masih suci."
Alan mengangguk. Dia sudah berani menatap mataku. Dari pendaran itu aku bisa melihat tekadnya yang kuat. "Aku akan berubah demi kamu, Sashi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...