Umi melayangkan senyum saat mendapati aku sudah berdiri di sampingnya. Aku memilih membantu Umi yang sedang mencuci piring daripada harus menemani sugus di meja makan. Berdekatan dengan sugus selama beberapa hari ini, entah kenapa ada yang aneh dalam diriku. Tapi aku nggak tahu kenapa.
"Memangnya kamu sudah sembuh, Sas? Nanti Gusmu itu marahin Umi tahu kamu kerja di dapur," ucap Umi saat aku meminta menggantikannya yang mencuci piring. Biarlah Umi saja yang menemani sugus, aku nggak mau.
"Alhamdulillah sudah, Mi. Gus nggak mungkin lah marahin Umi, kalau itu sampai terjadi Sashi yang nanti ngomelin Gus."
Umi terkekeh mendengar ucapanku. "Ya habisnya waktu kamu sakit, Gusmu itu khawatir banget sama kamu, Sas. Sampai nggak bisa tidur, pontang-panting cari makanan yang kamu mau, kalau dia ada acara di luar pasti wanti-wanti Umi buat jaga kamu."
Masa sih sugus sampai segitunya? Aku nggak percaya.
"Nanti mau pergi jam berapa sama Gus?" tanya umi.
"Siapa yang mau pergi, Mi?" tanyaku bingung.
"Kamu sama Gusmu. Dia izin sama Umi pengin ngajak kamu keluar sebentar katanya."
"Sashi malah nggak tau, Mi."
Terdengar suara deheman dari arah belakangku. Saat aku dan umi menoleh, sugus sedang berjalan mendekati kami.
Ih kenapa sih pakai ke sini? Sudah benar-benar dia di sana saja. Aku kan jadi gagal menjauhinya.
"Yasudah, kamu gantikan Umi, ya. Ada yang mau Umi kerjakan lagi."
Eh? Belum sempat aku mengangguk, umi meninggalkanku begitu saja. Menyisakan aku dan sugus berdua di dapur. Kalau ada laki-laki dan perempuan berdua saja kan yang ketiganya setan, ya. Duuuh, ngeri.
Detak jantungku berdetak abnormal saat sugus berdiri di sampingku. Benar-benar dekat, karena lenganku dan lengannya saja sampai menempel.
Semesta kenapa ada pria lain yang membuat jantungku berdetak dua kali lipat selain Alan? Ini pasti bukan perasaan apa-apa, kan? Pasti cuma jantungku saja yang bermasalah, kan?
"Memangnya kamu sudah kuat? Bukannya masih lemas?" tanyanya memecah keheningan di antara kami.
"Sudah, kok. Sashi kan sudah sembuh," jawabku sambil mengambil satu piring kotor kemudian mengelapnya dengan spons yang sudah diberi sabun pencuci piring. Setelah piring itu aku sabuni, sugus meraihnya untuk dibersihkan di air keran yang mengalir.
Ini sugus mau membantuku cuci piring, ya, ceritanya?
"Biar Sashi saja, Gus, yang cuci piring. Sana Gus duduk saja."
Tapi sugus nggak mendengar omonganku barusan. Dia memilih menulikan telinga. "Nggak papa, saya mau mengikuti sunah. Rasulullah saja suka membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah."
Kalau sudah begitu, aku nggak bisa berdalih apa-apa lagi. Tapi yang buat aku sebal, belakangan ini sugus senang sekali menekan kata suami dan istri saat bicara kepadaku. Nyebelin kan?
"Nanti temani saya, ya?"
"Eh? Ke mana Gus?"
"Ke luar. Teman satu kamar saat dulu saya pesantren, dia pengin ketemu. Tapi nggak mau ketemuan di sini."
"I-iya, Gus, nanti Sashi temani. Tapi memangnya nggak papa?"
"Ya nggak papa, saya sudah izin ke Umi ajak kamu keluar dan Umi mengizinkan."
Sebenarnya maksudku bukan seperti itu. Memangnya nggak papa ya aku pergi sama sugus? Apa nanti nggak timbul fitnah? Atau gosip-gosip aneh yang beredar?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritualité⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...