Setelah selesai mengerjakan soal, aku dan Intan menyusul Fika ke UKS untuk mengetahui keadaannya. Penyakit memang selalu datang nggak pernah melihat situasi ataupun kondisi. Untuk itu, kita harus jaga kesehatan selalu ya.
Ketika tiba di UKS kulihat Fika sedang berbaring dengan menghadapkan wajah ke langit-langit. Kurasa ia belum sadar akan kehadiran aku dan Intan.
"Tempo hari ayam di rumah gue mati karena kebanyakan bengong," ucapku yang berhasil mengalihkan pandangan Fika. Ia menatap kami dengan antusias.
"Eh gimana-gimana? Kalian berhasil nggak jawab soalnya dengan benar?" Dia malah bertanya soal olimpiade, ck.
"Nggak yakin gue," jawabku seraya membantunya bangun dari posisi berbaring. Sekarang posisi Fika jadi duduk di petiduran.
"Yaaah." Dia membuang napas kecewa. Kedua bahunya terlihat turun ke bawah. "Gue minta maaf ya. Coba aja gue nggak sakit, pasti semuanya nggak begini."
"Lo nggak salah, gue yang salah, Fik. Karena udah nyia-nyiain waktu yang ada," tukasku.
"Udah, Kak. Udah. Yang penting kita udah berusaha semaksimal mungkin. Tinggal hasilnya kita serahin sama Allah," kata Intan dengan bijak. Tolong siapapun beri dia tepukan tangan paling gemuruh. Benar kan kataku, dia lebih dewasa dari aku dan Fika.
Aku tersenyum, begitu juga dengan Fika yang melengkungkan sudut bibirnya meski terlihat samar. Terlihat sekali raut kekecewaan di wajahnya. Duh, gimana nih kalau anak orang nangis bisa gawat.
"Kok bisa kayak gini sih, Fik? Emangnya lo ada penyakit apa?" Akhirnya aku membuka pembicaraan lagi. Sekaligus juga khawatir sebenarnya tentang kondisi dia.
"Dari dulu gue selalu gini kalau kecapean. Tapi sekarang udah baikkan, kok."
"Beneran?" tanyaku tak yakin.
"Iya, Sashiii."
Kami bertiga terkekeh. Oh iya aku sampai lupa. Kalau sebelum ini aku dan Fika seperti Amerika dan Rusia, atau seperti Tom dan Jerry yang tidak pernah akur. Tapi entah kenapa saat ini dinding itu seakan runtuh begitu saja.
"Nanti lo pakai jilbab gue aja, ya. Gue bawa dua," kataku saat melihat kerudungnya terdapat bekas darah yang mengering.
"Intan juga bawa rok dua. Kak Fika juga bisa pakai."
"Iya iya. Makasih ya."
Aku dan Intan kompak mengangguk.
"Assalamu'alaikum," terdengar suara lembut dari arah pintu bilik. Dia adalah orang yang membuat konsentrasiku menguap entah kemana. Fika dan Intan menjawab salamnya dengan antusias, sementara aku cukup terdengar oleh telingaku saja. Yang penting kan dijawab, nanti aku dosa karena nggak menjawab salamnya.
"Saya sudah siapkan makan siang untuk kalian." Lagi, Intan dan Fika sangat antusias mendengarnya. Meski si Fika sedang sakit, tapi mendengar makanan jadi semangat lagi. Sedangkan aku, nafsu makanku sudah nggak ada. Apalagi kalau mengingat kejadian tadi. Bisa-bisanya dia telponan dengan suami orang!
Selain nafsu makanku yang hilang, mood juga anjlok ke dasar bumi paling dalam.
Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan Ning Aisyah lagi. Bukannya menghindari, hanya saja kalau aku sudah sebel sama orang, aku sudah nggak peduli dan nggak mau tahu tentangnya.
*****
Suasana saat ini sangat riuh. Semua orang yang ada di sekolah ini bergabung jadi satu. Kurang dari lima menit lagi akan ada pengumuman sekolah mana saja yang masuk ke babak selanjutnya.
Kalau sudah seperti ini, kepalaku rasanya cenat-cenut melihat banyaknya orang. Jika aku punya kekuatan, aku ingin sekali menghilangkan mereka dari sini. Atau lebih baik aku saja yang menghilang dari bumi, dan pindah ke mars.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...