Ceritanya Nge-Date

145K 13.4K 1.5K
                                    

"Ah, itu istri saya."

Aku tahu saat Sugus berkata seperti itu orang-orang yang berada di sini merasa bingung sekaligus aneh. Beberapa dari mereka juga menatapku tidak percaya, terutama dari sebagian kaum hawa.

Setelah Sugus sampai di dekatku, ia mengambil posisi di samping kananku. Sambil tersenyum seraya berterima kasih pada bapak yang tadi menghampiri kami. Setelah bapak itu membalas terima kasih Sugus, ia berpamitan pada semuanya, dan meraih jemariku untuk ia genggam. Supaya aku tidak hilang lagi, bisiknya di telingaku. Aku hanya berjalan mengekorinya seraya menunduk, rasanya malu setengah mati dilihatin oleh orang banyak.

"Silakan masuk Bidadari kecil," ucapnya. Tanpa terasa kami sudah sampai di mobil. Sugus membukakan pintu mobil untukku.

"Makasih, Gus." Sugus menarik bibirnya sejenak, lantas aku masuk ke dalam mobil. Setelah aku duduk manis di samping kursi pengemudi, Sugus memutar arah untuk memasuki mobilnya kemudian duduk di sampingku.

Roda mobil mulai berputar, meninggalkan Masjid Agung ini.

"Gus nggak malu mengakui Sashi sebagai istri Gus?" tanyaku beberapa menit kemudian.

"Malu kenapa?" tanyanya yang belum sadar apa maksudku.

Aku memutar bola mata. "Nih Gus lihat. Sashi masih pakai baju SMA lho."

Sugus hanya ber-O ria. "Memang kenyataannya kamu ini istri saya. Memangnya kamu mau diakui sebagai apa? Adik?"

Ish adik? Lalu Sugus nanti akan mengakui kalau ia belum punya istri, gitu? Sebal! Aku melipat kedua tangan di atas dada.

Terdengar kekehan dari arah samping, setelahnya usapan lembut menjalar di kepalaku yang tertutup jilbab. "Saya nggak mau di luar ada salah paham. Apalagi sampai ada yang melamar istri saya sendiri," sindirnya. "Atau ada yang ingin menjodohkan anaknya dengan saya," lanjutnya kemudian.

"Jadi nggak papa kan kalau di luar pesantren orang tahu kita suami istri?"

Aku mengangguk, Sugus langsung mencubit pipiku. Saat aku balas dengan tatapan mematikan, ia hanya terkekeh, merasa nggak berdosa.

"Ikut saya, yuk?"

"Kemana, Gus?"

"Nanti juga tahu. Tapi sepertinya kita harus membeli baju ganti dulu. Karena kita akan menginap."

Walaupun aku belum tahu kemana tujuan yang Sugus maksud, aku iyakan saja. Hitung-hitung liburan dan menghirup udara segar. Entah mengapa bersama Sugus kemana pun itu aku merasa aman dan nyaman.

Akhirnya kami memutuskan untuk membeli baju di mal—sebenarnya itu adalah ideku, sih. Jangan bayangkan mal di sini seperti Grand Indonesia atau Taman Anggrek, nggak sebesar itu. Kalau di Jakarta mal yang kami datangi ini sejenis Ramayana atau Carefour.

Nasib memiliki tubuh kecil —jika dibandingkan dengan Sugus— seperti ini nih. Aku tertinggal di belakangnya beberapa langkah. Sedangkan Sugus berjalan begitu saja seperti nggak ingat sedang bawa istri. Huh!

Tadi saja nggak ingin aku hilang, tapi sekarang seolah-olah Sugus ingin meninggalkanku di tempat ini.

"Guuus!" panggilku. Sontak langkah kaki Sugus langsung terhenti dan ia membalikkan tubuh.

"Lho ngapain kamu di situ?" tanyanya tanpa merasa bersalah. Aku mengerucutkan bibir, memasang wajah kesal, lantas ia berjalan menghampiri. "Kenapa?"

"Ooh saya tahu," Sugus menunduk kemudian mengambil posisi berjongkok di depanku. "Tali sepatu kamu lepas, kan?" Dengan lincah tangan Sugus membuat pita pada tali sepatu kananku. "Kalau sampai terinjak, nanti kamu bisa jatuh." Huaah, Sugus! Kalau seperti ini bagaimana aku bisa kesal padanya. Baru kesal sedikit saja hatiku sudah kembali leleh seperti es krim terkena matahari.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang