Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan

109K 9.8K 215
                                    

Sebentar lagi Sugus akan balik ke luar kota, menyelesaikan pekerjaannya selama dua hari. Selama itu pula aku akan tinggal di sini dulu, menunggu Sugus menjemput barulah pulang ke pesantren.

"Sashi, sini," panggil Sugus. Aku yang sedang bermain helix jump di handphonenya Sugus pun menghampirinya.

"Apaan?"

Dari dompetnya Sugus mengeluarkan sesuatu. "Ini buat pegangan kamu selama di sini," ucapnya seraya memberikanku kartu ATM. Aku menerimanya setengah heran. "Buat jajan," lanjutnya.

"Kan Sashi bisa minta Ayah atau Bunda, Gus."

Kepala Sugus menggeleng. "Saya kan sudah bilang, sekarang kamu itu tanggungan saya. Pakai saja uang yang ada di kartu itu. Terserah kamu mau beli apa."

"Beneran Gus, Sashi boleh beli apa saja?" Gus mengangguk. "Es krim yang banyak boleh?" Kepalanya mengangguk lagi. Aku berpikir sejenak, "Kalau beli masker boleh? Sashi sudah lama nggak me time."

"Boleh. Nomor pinnya tanggal ulang tahun kamu."

Asiiikk, aku akan beli masker Lush Magnaminty pakai uang Sugus.

Sugus balas mengacak rambutku. "Saya berangkat sekarang, ya?"

"Iya, Gus," ucapku memberikan handphonenya lantas Sugus berbalik, berjalan menjauhiku. Tapi sebelum Sugus membuka pintu kamar aku menahannya, yang membuat Sugus berhenti seketika. "Sashi minta maaf, Gus." Tenggorokkanku terasa sakit, aku kesulitan menelan salivaku sendiri. "Sebenarnya Sashi mendengar obrolan Gus dan Bunda. Kaki Gus sakit karena Sashi, iya kan?"

"Sekali lagi Sashi minta maaf. Sashi nggak berniat buat Gus celaka. Sashi cuma panik waktu tau Ayah sakit." Tidak ada mendung, namun tiba-tiba turun hujan. Dadaku juga terasa sesak seolah alat pernapasanku nggak berfungsi dengan baik.

"Ssttt... Jangan nangis, saya baik-baik saja." Tiba-tiba saja Sugus sudah ada di dekatku. "Alhamdulillah saya masih dilindungi Allah. Alhamdulillah saya masih selamat."

"Selama masuk pesantren hubungan Sashi dengan Ayah dan Bunda memburuk. Sashi merasa dibuang, Sashi merasa nggak diinginkan, Sashi merasa nggak dianggap anak lagi sama mereka. Setiap Bunda telepon, Sashi nggak pernah mengangkatnya karena Sashi masih marah. Suatu ketika Abah teman Sashi meninggal. Mata hati Sashi baru terbuka, bagaimana kalau itu terjadi sama Sashi? Sashi nggak mau menyesal setelah ditinggal orang tua. Sashi nggak mau, Gus."

"Hari itu, Bunda telepon. Awalnya Bunda menutupi kabar Ayah. Bunda bilang Ayah baik-baik saja. Tapi Sashi tau kalau Ayah nggak baik-baik saja. Ayah sakit karena mikirin Sashi, Gus. Ayah sakit karena Sashi!" Hujan di mataku semakin deras saja. Aku nggak bisa membendungnya lagi. Aku hanya pasrah saat Sugus menarik kepalaku dan membawa ke dalam dekapannya.

"Saya paham apa yang kamu rasakan. Pasti berat banget ya buat kamu?" Aku mengangguk. "Mulai sekarang apapun itu, cerita ya ke saya. Saya siap mendengarkan. Bahu saya selalu tersedia untuk kamu bersandar, tangan saya selalu tersedia untuk menghapus air mata kamu." Bisa kurasakan elusan lembut di rambutku. Aku malah semakin larut dalam dekapan Sugus dan asyik mencium aroma parfum bercampur wangi alami tubuhnya. Sedangkan tanganku sibuk meremas-remas kemeja bagian belakangnya. Tapi itu nggak berlangsung lama, beberapa detik kemudian Sugus merenggangkan pelukanku.

"Ingat, bidadari nggak ada yang jelek," ucapnya dengan kedua tangan yang berada di pundakku.

"Kan Sashi cantik."

"Makanya jangan nangis."

"Langit saja bisa nangis, apalagi Sashi yang cuma manusia biasa."

"Bisa aja ya kamu jawabnya." Sugus menoel hidungku, dan aku pun terkekeh. Kemudian Sugus menyeka air mataku yang ada di pipi.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang