I lost my...

155K 11.6K 717
                                    

Pipiku terasa ditepuk-tepuk seseorang. Meskipun hanya sayup-sayup, aku mendengar suara berkali-kali menyebut namaku bersamaan dengan gerakan di pipi. Karena mataku ini terlalu sepet untuk dibuka, ditambah lagi cuaca yang mendukung setelah turun hujan, aku malah meraih guling dan mendekapnya erat.

"Sashi, ayo dilepas gulingnya."

"Kita sholat Tahajjud bersama."

"Aish! Dimana nalar kamu, Omar! Masak sama guling aja cemburu!"

Khusus kalimat ketiga, aku mendengarnya seperti gerutuan, bukan kalimat ajakan.

"Sashi sayang," seperti mantra, kata setelah namaku disebut itu berhasil membuat kedua mataku terbuka. Kesepetan yang tadi terjadi, kini lenyap sudah. Malah ditambah jantungku dag dig dug seperti naik roller coster.

Pemandangan pertama yang aku lihat adalah bidadara surga yang Allah turunkan ke dunia. Bagaimana ada manusia seperti itu? Segala yang ada padanya nampak indah dan sempurna tanpa cela. Keindahan itu semakin memesona saat lengkungan sabit muncul, garis wajah yang tadinya tegas, berubah selembut sutra.

"Bangun, sudah jam tiga." Lagi-lagi Sugus tersenyum. Tangannya terulur untuk membenarkan rambutku yang menjulur menutup wajah. Kemudian Sugus menyelipkannya di belakang telinga. Tubuhku meremang seketika, seperti ada aliran listrik jutaan volt yang mengalir saat kulit kami saling bersentuhan.

OH MY GOAT!

Perasaan apa sih ini? Sepertinya baru pertama kali aku rasakan.

Aku bangkit dari posisi berbaring, bersamaan dengan itu Sugus kembali mengulurkan tangannya. Kali ini untuk mengusap kepalaku. Aish, kepala yang diusap-usap tapi hati yang berantakan.

"Anak pintar," ucapnya.

"Sashi bukan anak-anak, Gus. Tapi remaja!" protesku. Menurut usia, aku bukan lagi kategori anak-anak. Aku sudah masuk ke remaja akhir. Kalau Sugus tetap menganggapku anak-anak, kapan ia bisa melihatku sebagai wanita dewasa?

"Iya, maaf Bidadari kecil— eh saya ralat deh, Bidadari cantik saja ya?"

Aku menggangguk sebagai jawaban.

"Oh iya, kamu minum dulu nih," ujarnya seraya meraih cangkir yang ada di nakas. "Teh hijau ini bagus untuk yang lagi flu."

"Gus yang buat?" tanyanya sambil meraih cangkir itu. Kulihat Sugus mengangguk. Baru saja semalam aku berniat menjadi istri yang baik untuknya, sekarang ia malah membuatku merasa gagal. Bukannya aku yang melayaninya, malah berkebalikan.

Indra penciumanku menghidu aroma teh terlebih dahulu. Sangat menenangkan. Teh yang dibuat Sugus ini berbeda dari yang biasa aku minum.

Kemudian aku meminum tehnya. Hangatnya bisa kurasakan mengalir dari tenggorokkan hingga ke perut. Tubuhku yang terasa kedinginan, berubah menjadi hangat.

"Enak?" Aku mengangguk. "Dihabiskan ya selagi masih hangat."

"Makasih, Gus." Ia tersenyum dan masih memperhatikanku menenggak teh ini sampai tandas. Sugus buatku salting saja deh.

Aku baru sadar kalau sedari bangun tidur rambutku terurai. Aku mencari-cari ikat rambut yang biasa ku letakkan di atas nakas, namun sepertinya tidak ada. Aduh, kalau rambutku nggak diiket, mana bisa kerudungan sepanjang hari?

"Kamu cari ini?" Sugus menunjukkan ikat rambut itu padaku.

"Ah iya, Gus!" Baru saja aku ingin menyambarnya, namun segera ditahan.

"Biar saya saja yang iketin."

Tubuhku ini seperti sudah di setting untuk menuruti segala titahnya. Dengan suka rela aku berbalik arah, memunggunginya hanya untuk dikuncir. Kalau ada orang yang melihat kami sekarang, mungkin dikira Om yang sedang bermain salon-salonan dengan keponakannya.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang