Sebelum memasuki kamar, aku memastikan penampilanku di depan wastafel lantai bawah. Agar Sugus nggak tahu kalau aku habis menangis. Dan benar saja, mata dan hidungku sedikit memerah.
Sampai saat ini, aku pun masih bertanya-tanya, kenapa aku menangis. Aku belum menemukan jawaban itu, tapi di dalam sana terasa lega setelah ku keluarkan semuanya. Lantas aku segera menaiki tangga untuk menuju kamarku.
Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati, aroma minyak telon khas kamarku menyeruak masuk ke indra penciuman. Hawa dingin juga menyapa kulitku, rupanya Sugus sudah menyalakan ACnya.
Sepertinya Sugus belum menyadari keberadaanku. Sugus masih berdiri di depan meja belajarku yang entah sedang apa. Aku berjalan jinjit, sebisa mungkin nggak menimbulkan suara apapun. Dan....
Tubuh Sugus berbalik. Bukannya Sugus yang terkejut, malah aku yang dibuatnya terkejut.
Bukan karena Sugus sudah melihat aku di kamar ini, bukan. Tapi apa yang dipegang Sugus lah yang membuatku terkejut bukan main.
"It—itu foto Sashi sama Alan." Iya, Sugus sedang memegang figura fotoku dengan Alan yang sedang sama-sama memegang es krim. Di foto itu aku mengembungkan pipi, sedangkan Alan melihatku dengan tatapan tajam miliknya.
Sugus meletakkan benda itu di tempat semula, tanpa bicara apapun. Aku merasa suhu kamar ini turun menjadi 5 derajat celcius, Sugus sungguh berbeda dengan saat bermain catur tadi. Dia begitu dingin.
"Gus," panggilku memecah keheningan. Sugus hanya berdehem saja. Saat ini Sugus sudah duduk di pinggir petiduran dengan kaki yang diselonjorkan. "Sashi perhatikan kok jalannya Gus beda gitu, sih? Kenapa? Kaki Gus lagi sakit ya?" Aku memilih pura-pura bodoh, daripada bersikap sok tahu, nanti Sugus jadi curiga aku menguping pembicaraannya dengan Bunda.
Aku mendekat dan merubah posisi menjadi jongkok. Tanganku terulur untuk menyibak celana katun hitam yang sedang Sugus pakai, tapi Sugus malah menjauhkan kakinya dariku. Sugus seolah nggak mengizinkan aku untuk melihatnya.
"Nggak papa." Sugus malah mengambil satu bantal lantas berdiri.
"Gus mau ke mana?"
"Tidur."
"Di mana?"
"Ruang tamu."
"Gus mau Bunda sama Ayah tahu kalau kita nggak satu kamar?" Meskipun bisa dihitung setelah menikah berapa kali kami tidur satu ranjang. Aku memang sering tidur di kamar Sugus, tapi Sugus tidur di tempat rahasia sedangkan aku di ranjangnya.
Sugus nampak terdiam sejenak, tapi setelahnya dia menaruh bantal itu lagi. "Nggak papa saya tidur di sini?" Aku mengangguk. "Memangnya kamu nyaman kalau ada saya?"
Ya mau bagaimana lagi? Di kamarku nggak ada sofa seperti di kamar Sugus, juga nggak ada tempat rahasia.
"Ya sudah saya tidur di lantai saja.""Eh, jangan, Gus. Nggak papa kita berbagi ranjang saja."
Sugus bangkit, dan berlalu ke kamar mandi. Bisa kutebak pasti Sugus ingin mengambil wudhu. Kebiasaannya setiap sebelum tidur.
Aku menuju ke meja rias, lantas membuka jilbab. Ku pandangi pantulan diriku di depan cermin kemudian meraih sisir dan menyisiri rambutku yang kusut karena dikuncir seharian. Untungnya wangi strawberrynya masih tersisa.
Tidak lama, Sugus keluar dari kamar mandi. Aku bisa melihat tubuhnya dari cermin. Ternyata dia juga sedang menatap ke arahku.
Sudut bibirku ikut ketarik saat Sugus menunjukkan sabit di wajahnya. Kontan saja hal itu membuat sesuatu di dalam sana meronta ingin keluar. Sepertinya aku harus memeriksakan diri ke spesialis jantung, bisa-bisa aku terkena serangan jantung di usia muda. Biar nanti aku tanyakan ke Ayah, barangkali ayah punya kenalan dokter spesialis jantung.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...