"Ampun Ayah, ampun!"
Saat tiba di rumah ayah menarik lenganku dengan kuat. Bahkan aku berjalan bukan karena murni langkah kakiku ini, tetapi tarikan dari ayah. Bisa aku rasakan nyeri di pergelangan tanganku, dan ketika ayah melepasnya kulitku memerah.
"Istighfar, Yah. Istighfar." Suara lembut bunda terdengar mengingatkan ayah. Biasanya kalau ayah lagi marah dan mendengar ucapan bunda langsung luluh, tapi sepertinya tidak untuk kali ini.
Mata ayah menatap lurus kepadaku. Pandangan ayah berhasil menguliti tubuhku sampai-sampai aku merinding dibuatnya. Rahang ayah mengeras dan tangannya mengepal kuat. Sudah pasti ayah sangat marah besar.
"Kenapa barang haram itu ada di tas kamu, Sashi?!" tanya ayah dengan suara yang bergetar hebat. Pandangannya masih terfokus padaku, sedangkan aku hanya menunduk merasa terintimidasi.
Aku diam karena tidak tahu jawabannya.
"Jawab! Kalau ditanya orangtua itu dijawab!"
"Jo!" teriak bunda mengimbangi suara keras ayah.
Demi Allah, seumur hidup baru kali ini ayah membentakku. Seperti ada ribuan anak panah yang menghunus tepat di jantungku. Sakit. Sesak. Bahkan setetes demi tetes air mataku sudah berjatuhan.
"Sashi nggak tau, Ayah."
"Bagus! Jadi kamu mau bilang benda haram itu punya kaki dan bisa jalan sendiri ke tas kamu?!"
Aku menggeleng, bukan begitu maksudnya. "Ta—tapi kan udah kebukti benda itu bukan punya Sashi, Yah."
"Tapi Ayah mau tahu, dari mana kamu dapatin benda itu!" sentak ayah. "Oh, pasti gara-gara cowok itu!"
"Alan nggak mungkin berbuat itu, Yah."
"Terus aja bela, terus! Ayah jadi curiga, ada hubungan apa kamu sama dia?"
Aku bingung, ya Allah. Apa yang harus kujawab? Pengin jawab pacar, tapi aku takut. Terlebih ayah pasti juga semakin marah kalau tahu aku pacaran. Gimana ini?
"Aru." Ayah memanggil Aru yang sejak tadi diam memperhatikan kami. "Ada hubungan apa Sashi sama cowok itu?" tanya ayah kemudian.
Aru mengangkat kepalanya dan memandangku sejenak. Mati sudah aku kali ini, manusia bernama Arusha itu paling nggak bisa berbohong. Apalagi di depan ayah.
"Aru, Aru nggak tahu Ayah lebih jelasnya. Yang Aru dan satu sekolah tahu, Sashi dekat sama Alan."
Kepala ayah mengangguk cepat. "Oh sudah jadi rahasia umum ternyata. Kamu pacaran, Sas?!"
Deg!
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Kepalaku mengangguk takut, kalau aku bohong lama-lama ayah juga akan tahu kenyataannya dari orang lain. Dan itu akan semakin membuat ayah murka.
Aku melirik bunda, yang juga terkejut mendengar pengakuanku.
" Astaghfirullahal adzim, ya Allah Ni, ternyata selama ini kita kecolongan." Ayah mengusap wajahnya sendiri. Mata ayah memerah seperti orang yang sedang menahan tangis. Ayah berjalan ke arah dapur, dan mengambil sapu kemudian kembali lagi ke tempatnya semula. Pasti sapu itu ayah gunakan untuk memukulku.
Aku sudah siap apabila sapu itu melayang ke tubuhku, karena memang aku salah. Mataku terpejam, aku hanya bisa pasrah menanti pukulan dari ayah. Tapi....
Bug! Bug! Bug!
Terdengar suara sapu yang mengenai badan, tapi aku nggak merasakan apa-apa. Jangan-jangan bunda yang kena sasaran?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Gus
Spiritual⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke pesantren. Bagi Sashi pesantren seperti penjara yang menyedot habis kebebasannya. Dia harus memutar otak bagaimana supaya bisa keluar dari p...