Semanis Es Krim

148K 12.2K 619
                                    

Pagi-pagi sekali saat aku kembali ke kamar, Dwi dan double Leha (read: Leni dan Hani) heboh menanyakanku kenapa dua malam ini aku nggak tidur di kamar bersama mereka. Aku jawab saja kalau selama dua hari kemarin aku di ndalem karena orangtuaku berkunjung. Aku nggak bohong kan? Ayah bunda memang sedang berada di pesantren ini, masak iya aku jelaskan pada mereka tentang pernikahan kutukan itu, apalagi harus bilang sekamar dengan sugus. Apa kata mereka nanti?

Omong-omong tentang sugus, sebelum ke kamar, aku sempat membuat perjanjian padanya. Pernikahan kami kan pernikahan rahasia ya, otomatis jangan sampai ada orang yang tahu. Apalagi santriwati yang menjadi penggemarnya. Bisa-bisa kalau mereka tahu aku ini istri sugus, mereka akan memepesku seperti ikan teri. Kan ngeriii.

"Sashi, kita berempat sekelas loooh."

Kalian tahu, Dwi sudah berkata itu sebanyak dua belas kali pagi ini. Diantara kami berempat, dia paling excited tahu hal itu. Padahal aku sih biasa-biasa saja, ya.

Aku dimasukkan ke kelas 12 MIA 1, setelah pihak pesantren melihat raporku semester kemarin.

"Kamu tuh udah bicara itu sepuluh kali, Wi," ucap Leni. Sepertinya telinga Leni juga panas mendengar ucapan Dwi yang itu-itu saja. Sama sepertiku.

"Dua belas kali, Len," ucapku membenarkannya.

"Wiiish, kamu hapalin, Sas?" tanya Hani sambil terkekeh.

"Nggak perlu dihapal, otakku udah merekam sendiri."

Selanjutnya kami berempat merencanakan duduk berdekatan. Kata Dwi, dia nggak mau kalah dengan Fika dan gengnya. Aku hanya geleng-geleng kepala saja. Ternyata di pesantren juga ada ya saingan seperti itu.

Aku mengambil sepatu convers yang warnanya sudah lusuh. Bunda sering mengomel supaya aku mengganti sepatu itu dengan yang baru, tapi aku selalu menolaknya. Kurasa kalian tahu apa alasannya. Sepatu ini hadiah dari Alan untuk ulang tahunku, saat pedekate dulu.

Ah Alan, aku rindu.

Pikiranku tentang Alan langsung buyar, Dwi menarik lenganku supaya cepat keluar kamar. Bel sekolah sebentar lagi akan berbunyi.

*****

"Hai nama gu- saya Sashi Liem. Saya dari Jakarta." Aku memperkenalkan diri di depan kelas, itupun karena disuruh ustadz Abas. "Sudah, Tad," ucapku padanya. Dari depan kelas aku bisa melihat Fika, Maura dan satu temannya lagi melihatku dengan pandangan tidak suka. Oh iya, aku belum cerita, selain aku sekelas dengan teman-teman sekamarku, aku juga sekelas dengan trio ular itu. Masih mending deh trio macan, hanya dangdutan saja. Daripada trio ular, tanpa alasan yang jelas mereka membenci seseorang.

Ustazd Abas malah senyum-senyum nggak jelas. "Ustadz, saya sudah memperkenalkan diri."

"Oh iya, iya. Kamu boleh duduk."

Aku kembali ke tempatku semula, di samping Dwi. Dari tempatku berada, ku perhatikan ustadz Abas yang sedang mempersiapkan sesuatu. Kalau dilihat-lihat ustadz Abas ganteng juga, terus murah senyum pula. Tidak seperti sugus yang wajahnya sedatar penggilasan.

"Simpan semua buku kalian di dalam tas. Di atas meja hanya ada alat tulis saja," ucap ustadz Abas kemudian.

"Astagfirullah, Sashi!" pekik Dwi tertahan. "Aku lupa bilang kalau hari ini ada ujian matematika."

Mendengar Dwi berucap itu double Leha yang duduk di depanku ikut membalikkan badan. Mereka menatapku dengan pandangan merasa bersalah.

Aku juga mendengar suara kekehan dari arah kanan. Siapa lagi kalau bukan trio ular. Pasti mereka merasa senang, kalau aku tidak tahu hari ini ada ujian matematika.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang