"Bang Husni!" Aku meruah dari pintu belakang kantor pada sosok yang sedang berjongkok mencabut rumput di halaman belakang LPBIK yang lumayan luas.
Aku perlu memfotokopi lampiran jawaban soal-soal untuk siswaku (mesin fotokopi LPBIK sedang rusak) dan aku ingin meminta tolong pada Bang Husni untuk memfotokopikannya karena Titi pernah bilang padaku bahwa kalau aku memerlukan bantuan apa pun aku bisa minta tolong pada Bang Husni sebab ia merangkap sebagai office boy dan seksi-disuruh-apa-saja. Namun, sosok itu bergeming meski sudah kupanggil.
"Bang Husni," panggilku lagi, kali ini beberapa langkah lebih dekat. Barangkali Bang Husni tidak mendengar suaraku yang lembut bagai suara surgawi ini dari kejauhan. Namun, sosok pria ceking yang menggunakan caping itu lagi-lagi masih bergeming.
"Bang Husni!" panggilku agak keras kali ini dan juga lebih dekat hingga tersisa jarak sehasta di antara kami. Eh, Bang Husni masih saja diam tak bergerak.
Waduh, jangan-jangan sebelum aku panggil, dia sudah dipanggil duluan oleh Yang Maha Kuasa, batinku khawatir.
"Bang. Bang Husni. Satenya 200 tusuk ya, Bang. Eh ...." Aku reflek menutup mulut karena malah mengucapkan jargon Suketi si kuntilanak di film Suzanna. Aku takut tiba-tiba Suketi beneran muncul. Halaman belakang LPBIK yang cukup rimbun sepertinya bisa jadi sarang kuntilanak.
"Bang. Bang Husni!" Aku mendekat ke arah Bang Husni sambil terus memanggil namanya. Gusar karena pria itu tak kunjung bereaksi, aku mengguncang bahunya.
"Astaghfirullahal'adziiiimmm!!" Aku memekik kaget ketika tiba-tiba tubuh Bang Husni ambruk ke tanah dengan posisi seperti orang berjongkok.
"Samira. Kamu kenapa, Mir?" tanya Titi.
"Ada apa, Miss Samira?" tanya Miss Rina.
Mereka berdua datang tergopoh-gopoh dari dalam karena mendengar jeritanku dan bertanya bersamaan.
"Ini, Bang Hus... Astaghfirullahal'adziiiimmm!!" Aku memekik kaget lagi untuk kedua kalinya karena mendapati Bang Husni tiba-tiba terduduk dari posisinya yang sempat ambruk tadi setelah kuguncang bahunya.
"Ada apa sih?" tanya Bang Husni dengan santai sambil meregangkan tubuh lantas dia menguap lebar.
"Jadi dari tadi kamu tidur, Bang?" tanyaku sambil senyum kecut.
Yang ditanya malah nyengir kuda kemudian mengangguk tanpa dosa.
"Ya ampun!" Aku mengelus dada. "Aku tuh udah khawatir bin panik. Aku pikir kamu itu mati kena serangan jantung atau kenapa gitu gara-gara aku panggil dari tadi nggak nyahut-nyahut," semburku penuh kemarahan.
Titi dan Miss Rina saling pandang kemudian tertawa bersamaan.
"Belum tau dia!" Titi dan Miss Rina berkali-kali mengatakan itu di antara derai tawa mereka.
"Kalian ngetawain aku?" tanyaku sebal.
"Nggak, Mir, nggak," jawab Titi di tengah derai tawanya. Titi masih saja tertawa dengan Miss Rina sampai beberapa saat kemudian sedangkan aku dan Bang Husni sama-sama melongo melihat tingkah aneh mereka. Ini apa yang lucu sih?
"Kamu anak baru sih di sini," kata Titi setelah tawanya benar-benar berhenti, "jadi belum tau kayak apa Bang Husni itu," imbuhnya.
"Bang Husni ya begini ini, kan? Kurus, ceking, item, dekil ..." Bukannya body shaming tapi memang penampilan Bang Husni begitu adanya. Aku tidak tahu harus mendeskripsikannya dengan kata-kata bagus apa.
"Bukan penampakannya tapi kebiasaannya," sahut Miss Rina.
"Emang apa?" tanyaku.
"Ya itu kayak yang tadi kamu liat itu," timpal Titi. "Dia bisa tidur di mana saja dan kapan saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...