"Aku dulunya pake jilbab juga kok, Miss." Pengakuan Miss Ully itu mengejutkanku dan Miss Neina yang saat itu sedang asyik menghabiskan makan siang kami di ruang staf sambil bercengkrama.
Entah bagaimana mulanya tiba-tiba Miss Ully sudah nimbrung bersamaku dan Miss Neina dan kami akhirnya membicarakan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kami bicarakan berdua. Ya, aku dan Miss Neina jarang sekali membicarakan hal-hal serius; keyakinan, pencarian Tuhan, dan semacamnya. Jika aku dan Miss Neina mengobrol, paling banter kami hanya membahas kegalauan Miss Neina mencari mangsa baru untuk dijadikan pacar yang akhirnya menjadi bahan roasting-ku ke Miss Neina. Namun, aku tidak tahu bagaimana awalnya hingga kami sampai pada pembicaraan soal jilbab dan Miss Ully tidak sengaja mendengar pembicaraan kami ketika masuk ke ruang staf.
Oh ya, Miss Ully ini adalah salah seorang pengajar lepas di LPBIK. Usianya delapan tahun lebih tua daripada aku tapi kami tampak seumuran karena penampilannya yang awet muda—atau aku yang boros, mungkin. Gaya pakaian keseharian Miss Ully hanyalah celana jins dan kaos atau kemeja dipadu dengan sneakers atau flat shoes sederhana— meski sebenarnya penampilan seperti itu sangat tidak dibolehkan ketika mengajar demi profesionalisme. Sangat kasual. Tidak ada penampilan ala wanita dewasa berusia di atas 30 tahun; tidak ada tas cangklong merk Hermes atau Chanel KW, tidak ada make up, tidak ada celana bahan, dan lainnya. Potongan rambutnya yang dibuat sangat pendek juga menambah kesan mudanya apalagi ukuran tubuh Miss Ully juga cenderung mungil, nyaris sama dengan Miss Neina. Makin imutlah kesan yang didapat ketika melihat Miss Ully.
"Terus kenapa dibuka, Miss?" tanyaku sambil menyuap sesendok nasi dengan pikiran menghakimi Miss Ully.
Jujur saja, saat itu aku masih terlalu naif. Dalam pikiran Samira-wanita-berusia-nyaris-kepala-tiga-yang-tidak-pernah-dewasa itu, aku hanya berpandangan bahwa segala sesuatu hanya bisa dinilai hitam atau putih. Tidak ada abu-abu gelap, abu-abu terang, apalagi tosca, turqoise, dan warna-warna lain yang tidak masuk dalam daftar warna dalam pensil warnaku waktu sekolah. Saat itu aku berpikir bahwa keputusan Miss Ully melepas jilbab sungguhlah sebuah hal hitam. Dosa besar. Padahal harusnya aku tidak berhak menghakiminya begitu karena aku sendiri memakai jilbab juga karena tren bukan karena keinginan menutup diri— meski sejauh ini aku tidak pernah lepas jilbab ketika keluar rumah. Aku mengundurkan diri dari Bank Nusantara juga bukan karena riba tapi karena aku tidak tahan dengan pola kerjanya. Andaikan masih ada bank lain yang mau menerimaku, aku pasti mau kok kerja di bank lagi.
"Karena itu sebagai bentuk protesku sama Tuhan," jawab Miss Ully.
Belum selesai aku dan Miss Neina terkejut, Miss Ully menambahkan, "Aku juga udah nggak pernah solat lagi. Aku udah nggak percaya sama agama apa pun lagi meski di KTP masih Islam."
"Tapi kenapa, Miss?" tanya Miss Neina. "Maksudnya kenapa kamu protes dengan cara begitu?"
Miss Ully menghela napas. "Aku ini anak pertama dari delapan bersaudara, Miss. Kami hidup rukun dan damai. Aku sayang banget sama adik-adikku. Kami juga sayang orang tua kami," ceritanya sambil menerawang.
"Lalu tiba-tiba kami harus kehilangan bapak karena sakit di usiaku yang waktu itu masih terbilang remaja. Saat itu aku masih berusaha berpikir bahwa ini mungkin ujian karena sejak bapak nggak ada otomatis semua tanggung jawab pindah ke ibu dan aku sebagai anak pertama. Beberapa tahun kemudian, ibu ternyata pergi juga karena sakit. Otomatis segala tanggung jawab berpindah ke aku sebagai anak tertua. Jadi di saat remaja seusiaku dulu seneng-senengnya sekolah dan main, aku dulu udah kerja keras dan banyak berhemat," kenang Miss Ully.
"Emang nggak ada saudara yang bantuin, Miss?" tanyaku prihatin. Tak menyangka bahwa sosok yang selama ini selalu ceria justru yang paling banyak menyimpan derita.
"Ada sih. Ada paklik dan bulikku yang bantuin kami berdelapan. Tapi, kan, mereka juga bukan orang berada, Miss, jadi kami juga nggak enak kalau harus selalu merepotkan mereka apalagi mereka juga punya anak sendiri."
Aku dan Miss Neina terdiam menunggu cerita Miss Ully selanjutnya.
"Sejak saat itu aku jadi mulai hilang arah. Aku mulai goyah. Kalau Tuhan beneran ada lalu kenapa Dia membiarkan kami kehilangan orang yang kami sayangi, orang yang jadi tumpuan hidup kami di usia yang masih muda? Kenapa Tuhan membiarkan kami hidup tanpa orang tua? Kenapa Tuhan membiarkan kami hidup kesulitan?" ratap Miss Ully.
"Jadi selama ini buat apa aku beribadah pagi, siang, malam? Buat apa aku menyebut nama-Nya? Buat apa aku berdoa sedangkan Dia aja nggak mendengar doa-doaku?"
Aku terhenyak. Aku juga bukanlah seorang yang religius— berbanding terbalik dengan Mas Ganjar karenanya aku heran kenapa kami bisa menikah. Aku memeluk agama yang kuanut sekarang karena aku dibesarkan dengan agama itu seumur hidupku. Aku tidak pernah bertanya kenapa Tuhan itulah yang kami sembah dan kenapa bukan Tuhan yang lain. Aku tidak pernah bertanya kenapa kami harus beribadah lima kali dalam sehari. Aku sebenarnya justru lebih banyak menghamba pada musik-musik yang orang-orang bilang produk kafir. Aku lebih banyak mengingat nama personel Blue daripada nama Tuhanku ketika aku masih remaja. Aku lebih hapal lirik-lirik lagu The Script daripada ayat-ayat Tuhan dalam Alquran. Aku lebih luwes mengucapkan nama-nama artis dan gosip-gosip yang menerpa mereka ketimbang Asmaul Husna. Seburuk itu aku menjadi pemeluk agama. Bukan apa-apa. Itu semua karena sejak kecil aku dibesarkan dengan Metallica dan Nirvana yang dikenalkan oleh kakak-kakakku. Aku belajar nyaris lima tahun di bangku kuliah untuk mempelajari budaya barat yang orang-orang bilang budaya orang kafir— jurusan Sastra Inggris tidak mungkin mengajarkan tabligh Quran, kan? Aku mungkin sudah dikatai kafir oleh orang-orang jika aku tidak diselamatkan oleh jilbab yang selalu kupakai kemana-mana. Aku juga tidak pernah melakukan ibadah selain sebagai keharusan. Aku tidak memiliki alasan lain untuk beribadah. Oleh sebab itu, aku tidak pernah memanjatkan doa. Ada suatu masa ketika aku tidak lagi percaya kekuatan doa padahal bukankah Dia sesuai dengan apa yang kita sangkakan? Namun, tetap saja aku tidak serta-merta memproklamirkan diri sebagai seorang agnostik bahkan ateis. Aku masih percaya Tuhan, hanya saja aku memilih untuk tidak menjadi religius..
"Puncaknya, aku makin nggak percaya Tuhan pas adik bungsuku juga meninggal setelah dia melahirkan anak pertamanya. Tuhan kemana? Kenapa Dia memberi cobaan pada anak bayi lucu yang tidak berdosa itu? Kenapa harus bayi mungil itu yang menanggung akibatnya? Keponakanku akhirnya nggak bisa dapet ASI karena ibunya udah nggak ada. Adilnya dimana?"
Aku dan Miss Neina bungkam. Kami tidak bisa menjawab apa pun karena kami juga tidak pernah mencari dan mempertanyakan Tuhan.
"Tapi it isn't a no brainer for me sih, Miss," komentarku menyikapi tentang keputusan Miss Ully melepas jilbabnya dan keputusannya untuk tidak mengimani agama apa pun. "Kamu hebat bisa berani ambil keputusan kayak gitu. Yah, buat sebagian besar orang, once you put your headscarf on and you've got a religion, they mean forever jadi kalau kamu berani lepas jilbab dan berani bilang kalau kamu nggak percaya agama apa pun berarti kamu udah ngerti bakal banyak banget rintangan dan cibiran orang soal keputusan kamu itu."
"Oh ya, pastilah, Miss. Banyak kok yang ngatain aku gila karena aku lepas jilbab but, hey, they don't even know me and my problems so I let them go from my life. Buat apa punya agama dan pakai jilbab kalau kamu nggak berbuat baik ke sesama?"
Yah, menurut pengertian Miss Ully, agama mungkin hanyalah atribut. Dia tidak butuh itu untuk mengkonfirmasi bahwa dia masih punya norma dan moral. Bukankah dewasa ini memang banyak orang beragama yang merasa dirinya lebih baik daripada orang dari agama lain? Bukankah dewasa ini makin banyak orang yang mudah mengkafirkan orang lain ketika tidak sejalan dengan apa yang dianutnya? Bukankah beragama bukan berarti menjadi tolok ukur bahwa seseorang menjadi bermoral dan bernorma?
***
Terjemahan.
• it isn't a no brainer for me (itu bukan keputusan yang mudah buatku)
• once you put your headscarf on and you've got a religion, they mean forever (sekali kamu pake jilbab dan punya agama, itu artinya kamu bakal pake itu dan percaya itu selamanya)
• but, hey, they don't even know me and my problems so I let them go from my life (tapi, hey, mereka bahkan nggak tahu aku dan masalah-masalahku jadi aku biarin mereka pergi dari hidupku)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...