6 - Learning By Mistakes

1.1K 166 0
                                    

The best way to learn is always by mistakes. Therefore, you can understand how something works correctly.
(Miss Sam)

*

Tak lama setelah pertengahan tahun, aku akhirnya mendapatkan kelas Conversation pertamaku— yang membuatku excited tentu saja. Kelas itu terdiri dari lima orang siswa; satu perempuan dan empat orang laki-laki.  Semuanya berasal dari latar belakang berbeda. Ayu, satu-satunya siswa perempuan di kelas itu, sudah lulus SMA setahun yang lalu.

"What is your goal when you decided to join this class?" tanyaku pada saat sesi placement test.

"Excuse me?" tanyanya tak mengerti. Mungkin aku berbicara terlalu cepat jadi aku mengulang pertanyaanku.

"No, Miss. Saya nggak ngerti pertanyaannya," akunya malu-malu.

"Oh. Saya tanya tujuan kamu gabung kursus ini apa?" Aku akhirnya mengucapkan pertanyaanku dalam bahasa Indonesia.

"Oh, itu. Saya lagi nunggu bukaan SMBPTN sebenernya untuk tahun ini sebenernya, Miss, tapi sembari nunggu saya mau memanfaatkan waktu senggang saya untuk sesuatu yang bermanfaat buat saya. Mungkin aja berguna pas saya kuliah atau kalau saya udah lulus."

Aku mengangguk.

Ravid usianya hanya selisih setahun lebih muda dari Ayu. Ternyata mereka junior-senior di SMA yang sama. Ravid tertarik belajar bahasa Inggris karena dia merasa perlu mempersiapkan diri untuk bekal kuliahnya kelak. Apalagi dia merasa minus di pelajaran bahasa Inggris selama ini. Dia mengaku lebih senang mengerjakan 100 soal Matematika atau Fisika daripada 1 soal bahasa Inggris.

Agus dan Himam terasa seperti adik-adikku (seandainya aku memang punya adik, tapi mereka memang seumuran dengan adik sepupuku) karena selisih umur mereka denganku hanya terpaut 4 dan 5 tahun. Mereka berdua sama-sama sudah lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Mereka merasa perlu belajar bahasa Inggris karena untuk melamar pekerjaan dibutuhkan keterampilan yang satu ini.

"Syarat paling durjana deh, Miss, kalo ada perusahaan yang ngasih keharusan buat bisa bahasa Inggris," keluh Agus kala placement test karena bahasa Inggris adalah kelemahan terbesarnya.

Yang terakhir adalah Gusman. Usianya beberapa tahun lebih tua dariku sehingga aku memanggil dia Mas Gusman. Dia juga sudah menikah tapi belum memiliki anak. Dia satu-satunya siswa yang sudah bekerja. Dia memilih ikut kursus pun karena alasan promosi jabatan. Oh ya, Mas Gusman ini bekerja di sebuah hotel di kotaku. Hotel bintang tiga yang cukup terkenal pula. Tidak heran sih kalau promosi jabatannya mengharuskannya belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggris memang akan bermanfaat sekali di sektor pariwisata.

Mengajar kelas ini terasa menyenangkan karena semua siswanya penuh semangat hingga suatu hari aku dikejutkan oleh kedatangan Agus ke LPBIK di luar jam kursusnya.

"Lho, tumben kemari, Gus?" tanyaku kaget.

Agus tersenyum. "Iya, Miss. Ada yang mau saya omongin sama Miss Sam."

"Oya, apa?"

Kami pun mengobrol di bangku panjang di teras LPBIK. Kebetulan aku memang belum ada jadwal mengajar saat itu sehingga aku bisa bebas mengobrol. Yah, anggap saja aku sedang melayani konseling.

"Anu, kalo misalkan saya pindah ke kelas privat bisa, kan, Miss?" tanya Agus yang membuatku mengernyit heran.

"Bisa aja sih tapi otomatis kamu harus bayar lagi. Untuk harga kelas privat, kan, harganya lumayan," terangku.

"Oh, gitu ya." Agus tampak kecewa.

Sebenarnya aku tidak masalah sih kalau Agus pindah ke kelas privat karena itu berarti akan ada pendapatan tambahan yang lumayan lagi. Itu bagus untuk kelangsungan hidup para pegawai di LPBIK.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang