10 - Mohon Maaf, Saya ....

877 116 4
                                    

Hari itu hari Sabtu. Semua pegawai LPBIK yang biasanya baru masuk kantor pukul 13.00 sudah berkumpul di kantor LPBIK sejak pukul 08.00. Ya, khusus hari Sabtu LPBIK memang buka pagi sampai sore hari karena Sabtu adalah hari libur bagi sebagian besar pekerja dan pelajar (ya, kecuali LPBIK yang masih menerapkan six-day-work-term, tentunya) sehingga jadwal kursus di hari Sabtu lebih banyak diisi di pagi dan siang hari.

Selesai briefing aku, Miss Rina, Titi, dan Ganjar memilih berkumpul di lab komputer sedangkan ruang resepsionis untuk sementara dijaga oleh Pak Dino- yang menawarkan diri secara sukarela- sebab Miss Rina yang seharusnya bertugas di sana harus mengerjakan laporan bulanan yang hanya bisa dikerjakan di lab komputer sementara aku, Titi, dan Ganjar sebentar lagi ada kelas.

"Ciieee yang lagi sumringah," godaku pada Miss Rina yang senyum-senyum sendiri sejak datang ke kantor.

"Iya dong," katanya ceria.

"Gara-gara Kanjeng Ratu udah resmi cao bella dari LPBIK ya?" kataku lalu terbahak.

Senyum mengembang Miss Rina langsung berubah jadi senyum masam. "Jangan mengungkit masa lalu," katanya.

"Duilee, baru juga cao bella kemarin udah dibilang masa lalu."

Ya, Bu Yuni akhirnya benar-benar dimutasi setelah penempatan Pak Dino di LPBIK sebagai manajer baru. Entah dimutasi di mana tidak ada yang tahu dan tidak ada yang mau tahu. Yang penting sejak kepergian Bu Yuni, LPBIK jadi lebih aman, damai, dan sentosa. Senyum Miss Rina juga lebih mengembang karena dia tidak perlu khawatir lagi Scoopy-nya kehausan gara-gara tidak pernah diberi minum oleh si peminjam yang tidak tahu diri. Senyum Miss Rina makin mengembang lagi karena melihat wajah Pak Dino (kami tetap memanggilnya 'pak' meski sempat diprotes oleh si empunya nama karena hirarkinya tetap di atas kami) yang menurutnya ganteng. Namun, selain kedua alasan di atas, ada satu alasan lagi yang membuat senyum Miss Rina bagai diberi ragi dengan jumlah yang terlalu banyak.

"Menghitung hari, detik demi detik, masa kunanti malam pertama, yang aku minta jangan bikin sakit, nanti kugigit ...." Aku menyenandungkan lagu Menghitung Hari-nya Krisdayanti dengan lirik yang kugubah sendiri menyesuaikan situasi Miss Rina.

Namun, yang tertawa bukannya Miss Rina melainkan Titi. Dia tergelak keras sekali hingga seluruh tubuhnya berguncang. Perut tambunnya bergerak-gerak. Ganjar yang sedang duduk di pojokan lab komputer kulihat sedang menahan senyum tapi dia tetap berusaha kalem, sibuk menggerakkan jari-jarinya di atas tombol papan ketik entah sedang mengetik apa.

Ya, Miss Rina akan menikah kurang dari seminggu lagi. Semakin dekat ke hari H-nya, senyumnya makin melebar sampai-sampai aku merasa mulutnya lama-kelamaan akan jadi seperti Joker.

"Ya ampun, Mir, kamu tuh bisa aja ngubah lirik lagu," kata Titi di sela-sela tawanya sambil menggebrak-gebrak meja. "Aku sampe mules."

"Mules? Berak aja sana," ucapku santai. Titi malah makin keras tertawa.

"Emangnya kalo malem pertama beneran sakit ya?" tanya Miss Rina polos, mengabaikan sementara urgensi laporan bulanan yang harus diselesaikannya sebelum siang.

"Sakit tapi nagih, tauk!" sahut Titi sambil senyum penuh arti.

"Nah, tuh, udah ada sharing pengalaman dari yang lebih ahli. Sekalian abis ini sharing gaya-gayanya ya, Miss Titi," kataku- setengah berteriak pada Titi karena Titi menjauh dari lab komputer- yang dibalas kata 'siap' oleh Titi lalu dia menceracau kata-kata yang tak kumengerti: 69, missionaris, woman on top, dan entah apa lagi karena suaranya makin tenggelam ditelan dinding-dinding koridor.

"Eh, Miss, ini aku kasih kado sekarang ya siapa tau aku nggak bisa dateng pas nikahan kamu," candaku pada Miss Rina sambil menyodorkan sebotol Betadine yang sudah kubungkus dengan plastik bening dan kuberi pita merah dengan wajah dibuat serius.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang