Aku mengambil cuti lebih awal yakni saat usia kehamilanku baru menginjak delapan bulan karena sejak usia kandunganku makin dekat dengan HPL Mas Ganjar memutuskan agar kami pindah dari rumah kontrakan ke rumah orang tuanya sebab aku sudah tidak sanggup lagi naik motor (meski hanya duduk di boncengan) dengan kondisi hamil tua. Yah, kami memang sempat bersitegang soal ini karena kupikir kami akan pindah ke rumah orang tuaku dan mempersiapkan kelahiran di sana karena rumah orang tuaku yang lebih dekat dengan pusat kota dan segala fasilitas kesehatan bisa dicapai dengan mudah dari sana.
Belakangan, aku menyesali keputusan mengambil cuti terlalu dini karena aku merasa tiga bulan tidaklah cukup untuk menemani bayiku (yang kemudian kuberi nama Zahira). Aku merasa galau saat itu. Haruskah aku tetap melanjutkan kerja tapi dengan risiko aku tidak bisa merawat bayiku secara utuh? Atau haruskah aku berhenti kerja tapi aku bisa merawat bayiku secara penuh?
Sejujurnya Mas Ganjar tidak pernah sekali pun melarangku untuk tetap bekerja karena Zahira bisa diurus oleh orang tuanya. Namun, aku merasa hal itu tidaklah pantas. Masa aku berani mempunyai anak tapi tidak mau mengurusnya? Apalagi kedua orang tua Mas Ganjar juga sudah sepuh sehingga aku merasa memberikan pengasuhan Zahira pada mereka adalah sebuah beban. Terlebih lagi mereka bukanlah orang-orang tua yang kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki menunggu uang pensiun saja di rumah. Kedua orang tua Mas Ganjar adalah petani (mereka juga memiliki beberapa kambing untuk dipelihara dan dijual jika dibutuhkan) sehingga mereka harus selalu bekerja keras setiap hari. Jika aku membebankan pengasuhan Zahira pada mereka bukankah mereka akan kerepotan nantinya? Aku jelas tidak sampai hati melakukan itu. Kalau aku tidak mau membebankan pengasuhan Zahira pada orang tuaku begitupun pada mertuaku.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dari LPBIK karena satu dan lain hal. Mas Ganjar memahami dan mendukung keputusanku.
"Sudah dipikirin mateng-mateng, Mir?" tanya Titi saat aku menyerahkan surat pengunduran diriku.
Aku tersenyum. "Sebenarnya sayang sih, Ti, mau ninggalin kerjaan—"
"Aku juga sayang," timpal Titi. "Kerjaan kamu selama di sini selalu bagus. Divisimu selama dipegang kamu juga semuanya jadi bagus. Pendapatan naik. Pencapaianmu bagus kalo dibandingkan dengan pencapaian staf yang lain di divisi yang sama."
Aku tersipu. "Aduh, jangan menyanjung berlebihan. Aku jadi GR nanti."
"Ih, aku beneran loh. Nggak bohong."
"Makasih, Ti, atas pujiannya."
Titi mengibas-ngibaskan tangannya seolah ingin berkata ah-lupakan-aja-itu-nggak-penting.
"Gimana rasanya jadi ibu?" tanyanya.
"Seneng tapi capek. Capek tapi seneng," jawabku. Dia tertawa.
"Kalau udah jadi ibu gitu ya. Yang tadinya dunia kita cuma ada diri kita sendiri, segala sesuatunya buat sendiri, sekarang harus ngalah buat anak. Segala keputusan diambil berdasarkan kebaikan anak." Titi berkata dengan mata menerawang.
"Iya, Ti, meski itu berat."
Dia tersenyum. "Disyukuri saja. Itu berkah dari Tuhan. Banyak perempuan di dunia ini yang menginginkan kehadiran seorang buah hati tapi tak kunjung diberi," kata Titi dengan suara sedikit tercekat.
Aku memegang tangannya. "Sabar, Ti. Kelak akan ada waktunya. Bersabarlah. Berdoa terus. Percayalah doa kita pasti didengar Tuhan. Tuhan tau apa yang terbaik buat kita. Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita mau."
Titi balas memegang tanganku dengan mata berkaca-kaca. Aku memang tidak tahu rasanya menikah selama tujuh tahun tapi belum kunjung dikaruniai momongan— yang lebih tahu pasti Mbak Anjani karena dia baru punya anak setelah sembilan tahun menikah. Tapi aku bisa merasakan sesaknya perasaan ketika keinginan kita belum bisa dikabulkan sementara kita tidak dapat berbuat apa-apa karena keinginan kita mutlak hak prerogatif Tuhan. Itulah mungkin yang dirasakan Titi selama tujuh tahun pernikahan yang masih sepi karena belum ada momongan.
"Udah ah, kok jadi sedih-sedihan gini sih?" Titi mengusap sudut matanya yang sedikit berair.
"Aku pesenin Pizza Hut dulu biar kita makan-makan dulu di sini sebelum kamu beneran resign, Mir."
"Lah, harusnya aku yang nraktir kok malah aku yang ditraktir sih?" Aku jadi tak enak hati meski dalam hati bersorak riang.
Yay, Pizza Hut!
"Nggak papa. Untuk kerja kerasmu selama tiga tahun kerja di sini. Kita harus rayakan. Tunggu sebentar." Kemudian aku melihat Titi mengetik sesuatu di ponselnya. Sepertinya dia memesan pizza via aplikasi.
"Tunggu sebentar lagi nggak papa, kan? Lagian Mr. Ganjar juga mau ada kelas tuh."
Aku mengangguk.
"Terus anakmu ikut siapa? Oh iya, namanya siapa? Aku lupa."
Lalu detik berikutnya kami sudah asyik mengobrol. Belum lagi kedatangan Miss Neina, Miss Rayya, Mr. Tizar, dan Bang Husni yang ikut meramaikan suasana membuat kantor semakin meriah.
Aku tertawa saat mendengar teman-temanku bercanda sampai pizza yang mereka makan berceceran di meja. Hatiku menghangat. Inilah yang sempat membuatku galau akankah aku kembali bekerja atau tidak. Suasana kekeluargaan ini, suasana kerja yang menyenangkan ini, teman-teman yang gila ini.
Namun, mengingat kini aku adalah seorang ibu, aku berpikir untuk memilih peran sebagai ibu rumah tangga lebih dulu. Bukankah karir dan uang tak lagi penting saat ada buah hati? Aku ingin ada saat masa pertumbuhan Zahira di usia emasnya. Aku ingin Zahira dididik dengan baik oleh ibunya. Aku ingin jadi madrasah pertama untuknya. Aku ingin memberikan yang terbaik untuknya. Meski aku tidak sempurna, aku akan berusaha. Demi Zahira.
"Jadi ibu yang baik ya, Miss," pesan Miss Neina. "Jangan barbar lagi."
"Yang kalem ya, Miss, kan, sekarang udah jadi ibu," pesan Miss Rayya pula.
Aku cuma mengangguk kalem, tak seperti biasanya yang senang membalas apa saja celetukan kurang ajar Miss Neina dan Miss Rayya. Entah, hari itu aku mellow sekali. Mereka akhirnya memelukku bergantian.
"Jadi sepi deh nggak ada Miss Sam," ucap Miss Rayya di antara isak tangisnya. "WA jangan sampe nggak online ya, Miss, soalnya aku pasti bakal banyak tanya-tanya ke Miss Sam."
Aku tersenyum simpul.
"Sering-sering main ke sini ya, Miss, sambil bawa Zahira juga," ucap Miss Neina pula.
Ah, aku pasti akan merindukan LPBIK; rekan-rekan kerjanya, suasananya yang meski horor-suspense tapi teduh, WiFi gratisnya, semuanya. Selamat tinggal, LPBIK! Semoga awal kehidupan baruku menjadi ibu menjadi lebih baik meski kehidupanku bersamamu berakhir. Sampai jumpa.
***
Yeaaaah, akhirnya kelar juga The Course. Terima kasih untuk dukungan kalian yang sudah baca hingga akhirnya cerita ini dapet viewers 1k lebih hanya dalam kurun waktu kurang dari enam bulan. Ini rekor sih mengingat cerita-cerita yang lain sampe harus setahunan buat dapet 1k.
Seperti biasa, kalau ada yang mau ditanyakan tanya aja ya. Via inbox Wattpad bisa, via inline comment juga bisa.
Oh iya, di cerita ini saya memakai beberapa idiom dalam bahasa Inggris. Ada yang udah nemu idiom apa aja yang saya pakai? Apa artinya? Silakan dijawab, anggep aja PR! 😁
Anyway, tunggu saya di karya berikutnya ya! 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...