Besok kumpul di kantor paling lambat jam 05.30. Telat, tinggal!
Pesan dari Titi di grup kantor— yang semula bernama Trio Cuan-tik dan kini berubah nama menjadi The Six Senses— itu begitu jelas tapi tetap saja ada yang terlambat datang.
"Jamnya dari karet ya, Miss?" sindirku pada Miss Neina yang baru datang pukul 06.00.
Miss Neina mengernyit lalu nyengir setelah paham maksudku. "Yang penting nggak ditinggal beneran, kan?"
Aku dan yang lainnya langsung mendengus sebal.
"Iya, maaf, maaf. Abisnya Miss Nike nggak telepon aku sih padahal dari kemarin aku udah bilang kalau dia bangun duluan miss call aku." Miss Neina malah melempar kesalahan yang tentu saja langsung ditampik oleh Miss Nike.
"Eh, enak aja. Aku udah telepon tapi hapemu nggak aktif!" bantah Miss Nike.
"Hah? Masa?" Miss Neina kemudian langsung merogoh tasnya dan langsung malu saat menyadari bahwa ponselnya dalam keadaan mati. "Astaga! Iya, semalem aku charge sih."
Miss Nike langsung menyoraki Miss Neina.
"Terus tadi kamu bisa bangun gimana caranya?" tanyaku penasaran.
"Untungnya aku semalem nitip pesen sama adekku buat bangunin aku jam setengah lima. Yah, walaupun dia baru bangunin aku setengah jam kemudian sih makanya aku telat." Miss Neina nyengir lagi.
"Udah siap semua, kan, ini?" tanya Titi yang dijawab 'siap' dengan kompak oleh kami semua. "Yuk, berangkat! Keburu siang nanti." Titi memberi komando.
Kami menyewa sebuah mobil keluarga yang dikemudikan oleh seorang kenalan Bang Husni karena biaya sewanya bisa dinego jadi harga teman. Titi duduk di bangku sebelah pengemudi— karena badannya yang paling besar— sedangkan aku, Miss Neina, dan Miss Nike duduk di bangku tengah. Mas Ganjar, Mr. Tizar, dan Bang Husni duduk di bangku belakang. Sepanjang perjalanan ke Purwokerto, aku jadi teringat kembali jalanan yang kulewati ketika aku kuliah dulu saat naik mobil travel. Hutan jati, semak belukar, pohon nanas, jalanan yang berkelok dan naik-turun, semuanya masih sama seperti lima tahun yang lalu.
"Eh, eh, itu apaan?" tuding Titi dengan telunjuknya yang membuat kami semua ikut melihat ke arah yang ditunjuknya.
"Taman Wisata Pendidikan. Purbasari Pancuran Mas." Aku membaca tulisan di pintu masuk sebuah tempat rekreasi.
"Iya tapi itu apa?" tanya Titi tak puas.
"Nggak tau. Dulu aku mentok ke Owabong doang kalo ke Purbalingga. Ini udah masuk Purbalingga, kan, bukan Randudongkal lagi?" sahutku yang sebenarnya tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Titi.
"Kalo penasaran tinggal masuk aja lah," usul Mas Beni, supir kami, yang wajahnya ganteng bak artis ibu kota.
Untung saja aku tipe cewek setia jadi meski aku mengakui bahwa Mas Beni tampan aku tidak mempunyai niatan untuk tebar pesona padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...