Pasca menyelesaikan kelas Conversation 2-nya, Ricky tidak langsung lanjut ke level 3— ya, Ricky memang memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang bagus, seperti yang sudah kubilang, sehingga saat placement testdia bisa langsung loncat ke level 2. Beberapa bulan kemudian dia baru mendaftar kelas lanjutan. Dan karena dia tipe orang yang tidak mudah cocok dengan sembarang guru dan dengan pertimbangan bahwa sebelumnya Ricky sudah terbukti cocok denganku, akulah yang ditunjuk kembali menjadi gurunya.
Perjumpaan kami pertama kali setelah lama tidak bertemu secara langsung terasa canggung. Tidak tahu mengapa aku merasa kami jadi sedikit berjarak. Lebih tepatnya Ricky yang membuat jarak. Percakapan kami yang dulu terasa natural, terasa mengalir, kini jadi dipenuhi dengan kecanggungan yang membuatku tidak nyaman.
"Anyway, congratulations, Miss!" katanya setelah beberapa saat kemudian kami terlibat dalam suasana kikuk.
"For?" tanyaku tidak mengerti.
"Your wedding," jawabnya. "I knew it from your status couple months ago, if you wanna know."
"Ah." Aku mengangguk lalu aku menjawabnya dengan ucapan terima kasih.
"I wanted to come and give you a present but then I realized that I wasn't invited. If only you invited me, I'd like to come in your best day," ujarnya santai tapi aku menangkap ada nada kecewa dalam ucapannya.
Aku meminta maaf untuk itu karena aku dan suami hanya memiliki sedikit jatah untuk mengundang tamu undangan dari pihak kami berdua.
"Nah, don't get it wrong. I didn't mean to blame you for not inviting me. I was just kidding," katanya tapi tetap membuatku tak enak.
Sejak saat itu, komunikasi kami yang tadinya lancar dan intens jadi agak sedikit berkurang. Kami yang biasanya sering saling sapa di WhatsApp juga banyak mengurangi hal ini. Aku tidak yakin apa yang membuat Ricky berubah tapi aku yakin pasti bukan karena aku tidak mengundangnya di hari pernikahanku. Bagiku itu terlalu sederhana untuk bisa disebut sebagai alasan seseorang meninggalkan seorang "teman", kan?
Namun, kegelisahanku akhirnya terjawab ketika suatu hari Ricky bercerita tentang opininya soal teman. Meski awalnya Ricky tidak secara gamblang menyebutkan alasan kenapa dia membuat jarak denganku, tapi aku bisa menebaknya dari jawaban-jawabannya yang tersirat. Kebetulan materi hari itu kami membahas tentang opini. Aku tidak begitu update dengan berita-berita terkini seperti isu politik, ekonomi, dan sosial karena tidak begitu suka menonton berita— dan, ya, kupikir topik seperti itu juga agak berat untuk anak seusianya. Aku lebih update soal dunia selebriti Indonesia— aku suka sekali menonton acara gosip selebritis yang ditayangkan oleh sebuah stasiun TV swasta— tapi sayangnya justru Ricky yang tidak update soal ini. Aku mencoba memilih topik yang universal seperti musik tapi aku baru sadar bahwa selera musik kami jauh berbeda dan Ricky tidak begitu paham soal musik dan seluk-beluknya. Dia hanya sekadar penikmat musik sehingga dia merasa tidak bisa memberikan opini soal dunia musik. Alhasil, aku memilih topik yang mudah yaitu teman.
"What opinions do you want from me, a boy who doesn't have friends, a boy who has just been left by a friend he trusts after having connection for four months?" tanyanya dengan nada sinis yang kentara.
"Anything in your mind," jawabku, mengabaikan kalimat terakhirnya meski itu sedikit menggangguku.
Ricky tertawa tertahan. "Are you kidding me, Miss?"
Aku mengernyit heran. "Why do you think I do so?"
Ricky mengangkat bahu sambil mencebik. "I just guess."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...