23 - Awal Mula Sebuah Prahara

509 73 1
                                    

Kami semua- aku, Ganjar, Mr. Tizar, Miss Neina, Miss Nike, dan Titi- saling pandang dan berkomunikasi dengan mata batin kami. Kami seolah punya satu pertanyaan yang sama: ini ada apa? Tidak biasanya Pak Dino menyuruh kami untuk berkumpul briefing setelah kegiatan selesai. Briefing hanya ada sebelum kegiatan dimulai. Pak Dino selama ini tidak pernah ikut campur dalam urusan kegiatan kami, apa pun itu. Jadi kalau tiba-tiba Pak Dino mengumpulkan kami setelah kegiatan itu aneh.

"Silakan duduk semuanya," ucap Pak Dino masih dengan suara tenang tapi aku menyadari gejolak amarah di dalamnya.

"Saya cuma mau membuat evaluasi untuk kegiatan kali ini-"

Jantungku berdegup kencang. Firasatku langsung buruk. Entah kenapa aku merasa bahwa Pak Dino sebenarnya menujukan evaluasi itu padaku. Aku berprasangka seperti itu karena selama kegiatan di Dolphin Center itu Pak Dino selalu memperhatikanku terutama setelah aku memarahi Abdul, siswa ajar LPBIK yang datang terlambat.

"Sebelumnya saya berterimakasih pada kalian semua. Berkat kerjasama kalian kegiatan outing class kali ini berjalan lancar dan sukses meski tadi ada sedikit kendala." Mata Pak Dino langsung beralih kepadaku.

"Miss Sam!" panggilnya.

"I-iya, Pak!" sahutku cepat.

"Saya ingin mengkritik soal perlakuan Miss Sam hari ini ke Abdul. Menurut Miss Sam perlakuan seperti itu ke anak-anak apakah pantas?" tanya Pak Dino dengan tatapan tajam. Kuakui, aku sedikit menciut memang karena selama ini Pak Dino dikenal sebagai bos yang cukup santai dan dikenal tidak pernah marah. Orang yang tidak pernah marah memang cenderung mengerikan ketika marah. Percayalah.

"Pantas, Pak!" jawabku yakin. Aku berani menjawab seperti itu karena aku punya dasar alasan yang jelas. Aku tidak mau disalahkan untuk hal yang menurutku benar.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Pak Dino tajam.

"Biar saya jelaskan dulu alasan saya. Abdul terlambat selama dua jam. Itu bukan sebuah keterlambatan yang bisa ditolerir lagi, menurut saya, karena dia sudah menerima surat pemberitahuan dari pihak LPBIK yang menyuruh para peserta outing class untuk berkumpul di LPBIK selambat-lambatnya pukul 13.00. Estimasi perjalanan dari Pekalongan kota ke Batang sekitar tiga puluh menit. Acara pertunjukan dimulai pukul 14.00 jadi saya pikir semuanya sudah jelas. Apakah masih ada yang kurang dimengerti dari surat pemberitahuan itu?" Aku balik melempar pertanyaan tapi tak ada yang menjawab. Semuanya seolah bungkam. Oke, ini mungkin saatnya aku membela diri sendiri karena semuanya seolah cuci tangan. Bukankah memang tidak ada yang bisa menolongmu kecuali dirimu sendiri?

"Saya belum selesai!" tegasku sebelum Pak Dino hendak bicara lagi. "Di saat teman-temannya bisa datang tepat waktu, bahkan beberapa teman satu sekolah Abdul rela membawa baju ganti ke sekolah agar mereka tidak perlu pulang dulu demi menghemat waktu, Abdul justru memilih pulang padahal jarak dari sekolahnya ke LPBIK tidak sampai sepuluh menit dengan naik sepeda. Kenapa dia tidak punya inisiatif untuk langsung membawa baju ganti seperti teman-temannya juga? Kenapa dia justru memilih pulang dulu, makan siang dulu, leyeh-leyeh dulu baru berangkat ke LPBIK setelah ditelpon oleh saya padahal jarak dari rumahnya ke LPBIK lebih jauh dari jarak sekolahnya kemari? Apakah dia tidak mengerti apa artinya ketepatan waktu? Kami, kan, sudah jauh-jauh hari memberitahu bahwa kegiatan kali ini tidak bisa santai karena kami sudah melakukan reservasi. Teman-teman Abdul yang lain juga rela makan siang di sini kok."

"Tapi Abdul masih anak-anak, Miss!"

"Bukan, Pak. Abdul bukan anak-anak lagi. Dia sudah remaja. Umurnya sudah 13 tahun. Saya rasa remaja seusia Abdul sudah mengerti soal konsepsi waktu. Saya rasa harusnya dia tau bahwa setiap hal yang dia lakukan ada konsekuensinya. Kalau dia tidak mengindahkan peraturan harusnya dia menerima hukuman. Itu prinsip saya ketika mengajari anak-anak. Kemarin saya sudah menyarankan untuk meninggalkan Abdul saja tapi Bapak bilang kasihan. Saya ikuti. Tapi apa Bapak tidak lihat mood anak-anak yang lain sudah hampir anjlok karena menunggu terlalu lama. Apakah Bapak tidak lihat usaha Miss-Miss di sini untuk membujuk para siswa ajar yang lebih kecil dan memberitahu orang tua mereka kenapa pemberangkatan lama sekali? Apakah menurut Bapak itu adil? Menunggu satu orang yang salah dan mengorbankan puluhan orang lain yang sudah bertindak benar?" Aku mulai meninggikan nada suaraku. Jujur saja, aku sebenarnya nyaris menangis. Aku jarang sekali menunjukkan emosi marahku jadi ketika aku marah aku pasti selalu nyaris menangis.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang