Cindy tidak langsung bercerita. Aku juga tidak langsung mendesaknya. Aku lebih senang menunggu orang lain membuka dirinya secara sukarela alih-alih mendesaknya. Jika dia tidak mau bercerita berarti hal yang dia simpan itu memang bukan sesuatu yang layak dikonsumsi orang lain. Tak apa. Toh, aku memang bukan psikolog. Aku tak butuh cerita orang lain. Aku tak harus menyembuhkan jiwa orang lain yang terluka atau bermasalah.
"Give me a minute," pamitku pada Cindy sementara dia masih terisak.
Aku segera menuju ruang resepsionis yang biasanya sepi kalau malam. Namun, sejak ada Miss Nike dan Miss Neina sebagai CS, ruang resepsionis agak lebih semarak. Namun, waktu itu hanya ada Miss Neina di sana yang sedang asyik menonton HBO yang sedang menayangkan film detektif atau entah apa sambil menumpangkan kedua kakinya di atas kursi lipat yang diletakkan di depannya. Miss Nike mungkin sedang ke toilet.
"Ada apa, Miss Sam?" tanyanya, mengalihkan pandangannya sekejap dari layar datar 21 inch yang diletakkan di sebuah rak di ruang resepsionis.
"Ada minum, Miss?" tanyaku. "Air mineral gelas atau–"
"Ada, ada. Nih," jawab Miss Neina sembari menyerahkan dua gelas kemasan air mineral beserta sedotannya yang diambilnya dari bawah meja resepsionis.
"Thanks, Miss," kataku.
"Anytime," sahutnya. "Baru ngajar bentar udah haus aja?" sindirnya dengan nada bercanda.
"Nope. These are for Cindy," tandasku.
"Oh." Hanya itu tanggapan Miss Neina sehingga aku pun berlalu kembali ke kelas. Kudengar dia agak sedikit menggerutu tentang sesuatu. Entah karena ketinggalan beberapa adegan seru atau apa.
"Here are for you, Cindy," ujarku sambil memberikan dua gelas kemasan air mineral pada Cindy.
"Makasih, Miss Sam. Satu aja," tolaknya ketika aku hendak menyerahkan kedua gelas minuman itu padanya. Dia hanya mengambil salah satunya dan mulai menyedotnya sampai tandas.
"Miss nggak minum juga?" tanyanya sungkan ketika menyadari aku tak ikut minum.
"Saya beseran. Di sini dingin." Aku menunjuk AC yang terpasang di pojok atas ruangan. "Besides, I don't cry," kelakarku yang ditanggapi Cindy dengan senyum malu.
"I'm sorry, Miss," ucap Cindy.
"What for?" tanyaku.
"Crying?" jawab Cindy ragu.
"What is wrong with crying?" Aku pindah tempat duduk tepat di hadapan Cindy.
"Nggak ada yang salah dengan menangis. Menangis itu normal. Natural. Tuhan memang menciptakan manusia lengkap dengan kelenjar air mata kok. Kelenjar air mata memang fungsinya untuk memproduksi air mata, kan?"
Cindy tertawa sambil mengusap sisa air mata di sudut matanya yang basah.
"Miss tuh lucu. Orang lagi mellow dijawabnya ilmiah banget. Miss anak IPA dulunya?" tanyanya kepo.
Aku menggeleng. "Tetooott! Kamu salah. Saya dulunya anak bapak ibu saya. Sekarang juga masih sih."
Cindy tergelak lebih keras. Kali ini dia menangis karena merasa geli dengan lawakan garingku.
"Miss Sam lucu ih. Nggak ikut stand up comedy aja?"
"Nggak ah. Saya nggak kuat berdiri lama-lama," kilahku.
"Bisa aja." Cindy terkekeh.
"Feeling better?" tanyaku. Cindy mengangguk.
"Itulah gunanya menangis. Menangis juga salah satu ekspresi lho. Bayangin kalo manusia nggak bisa nangis. Banyak sekali emosi yang kita pendam: bahagia, marah, haru, kecewa. Nggak baik. Nanti jadi sering kena penyakit," nasihatku sok bijak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...