17 - Ears And Spaces

609 96 7
                                    

Sometimes, what we need are just ears to listen, spaces to make distance and think, shoulders to lay down, chest to cry on, and a hug to calm.
(Miss Sam)

*

Aku mendapat kelas baru lagi kata Miss Neina. Sesuatu yang agak kusesali karena itu artinya beban jam mengajarku bertambah dan membinasakan rencanaku berleha-leha di ruang staf.

"Ng, kalo nggak salah anak SMA kelas XI deh, Miss. Kelas Conversation privat," terang Miss Neina ketika aku bertanya tentang murid baruku ini.

Ah, kelas privat ya. Ini pertama kalinya aku mendapat kelas Conversation privat. Aku lebih sering mendapat kelas Conversation reguler yang diisi banyak orang dalam satu kelasnya.

"Oh iya, Miss Sam. Cindy ijin telat. Katanya dia baru kelar les di bimbel. Jadi dia baru mau siap-siap kemari. Mungkin sekitar 15 menit lagi baru bisa datang," ucap Miss Neina ketika melihatku lewat di depannya.

"Cindy?" Aku mengernyitkan dahi. Seingatku, aku tidak punya murid bernama Cindy— atau, belum?

"Ah, iya, lupa. Cindy itu nama murid baru kamu yang Conversation privat hari ini," ucap Miss Neina sambil menepuk dahinya. "Aku lupa waktu itu ngasih tau kalo namanya Cindy. Pantesan kamu bingung."

"Oh, oke. Thanks, Miss," kataku mengangguk sambil berlalu ke ruangan staf untuk menyiapkan materi yang akan aku sampaikan di jam berikutnya.

Aku melirik Daniel Wellington KW di pergelangan tangan kiriku. Pukul 18.45. Harusnya kelas Cindy bahkan dimulai 15 menit yang lalu. Namun, kelas masih harus ditangguhkan 15 menit lagi. Itu artinya 30 menit terbuang percuma. Aku bukannya orang yang disiplin tapi menurutku sayang saja jika waktu setengah jam habis hanya untuk menunggu. Kalau muridku datang tepat waktu, aku bisa menggunakan 30 menit untuk perkenalan dan pengenalan materi awal.

Suara pintu ruang staf terdengar diketuk.

"Miss, Cindy udah dateng tuh. Di ruang 1 ya." Miss Neina menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

"Oh, oke. Thanks ya, Miss," balasku sambil bergegas menuju ruang 1 yang letaknya persis di sebelah ruang staf.

Miss Neina membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya lalu kembali ke meja resepsionis.

"Hai," sapaku pada seorang gadis manis berambut panjang di dalam ruang 1 yang sudah duduk menunggu.

"Hai," sapanya balik dengan senyum ramah.

"It's nice to see you, Cindy," kataku lagi seraya duduk di kursi dan meletakkan bahan ajarku di meja.

"Uh, ng, yes ...." Cindy menjawabnya dengan bingung. Mungkin dia kagok karena aku langsung mengajaknya berbicara bahasa Inggris.

Aku tidak heran. Menurut pengamatanku selama aku mengajar bahasa Inggris di bimbel ini, kebanyakan murid tidak mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris. Hal itu berbanding terbalik dengan kemampuan menulis mereka. Aku banyak menemukan murid bisa menuangkan ide dengan lebih baik dalam bentuk tulisan daripada dalam bentuk lisan.

Aku banyak mengajar kelas Conversation— salah satunya kelas Ayu dkk.— selama satu tahun lebih mengajar di bimbel ini. Seharusnya kelas ini berupa percakapan— baik itu antar sesama murid atau antara murid dan pengajar— yang sifatnya natural dan spontan. Namun, mereka selalu bersikeras untuk membuat konsep percakapan lebih dulu tentang topik tertentu yang kuberikan karena mereka sulit mengungkapkannya dalam bentuk lisan secara langsung. Bagi mereka, lebih mudah praktik komunikasi jika sudah ada sontek ... eh, panduannya.

Para guru lupa untuk memperkaya wawasan para murid dengan hal paling krusial dalam berbahasa. Kosakata. Ya, menurutku, kosakata adalah hal paling krusial alias paling penting dalam berbahasa. Coba lihat apa yang orang dewasa lakukan pada anak-anak mereka ketika anak-anak mereka belajar berbicara. Apakah para orang dewasa akan mengajarkan Grammar alias tata bahasa pada anak-anak mereka? Apakah mereka akan mengajarkan di mana letak subjek, predikat, objek dalam sebuah kalimat? Apakah subjek itu? Apakah predikat itu? Apakah objek itu? Tentu tidak, kan? Para orang dewasa akan mengenalkan kosakata satu per satu lebih dahulu pada anak-anak mereka. Itu pun tidak langsung bisa sempurna karena keterbatasan pelafalan anak-anak yang berbeda dengan orang dewasa. Seiring anak-anak mereka menjadi dewasa barulah anak-anak itu bisa melafalkan kosakata dengan tepat. Sebenarnya, hal yang sama juga berlaku di bahasa Inggris. Menilik dari pengalamanku, para guru banyak yang tidak mendorong para murid untuk rajin membaca dan menulis kemudian membiasakan berkomunikasi dalam bahasa Inggris padahal kemampuan seperti itulah yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari sehingga kosakata yang mereka gunakan hanya itu-itu saja. Teori tentang Grammar dan sebagainya lebih banyak dipakai untuk yang nantinya berkecimpung di dunia akademik atau yang lebih sering berkomunikasi menggunakan tulisan

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang