26 - Kedok Yang Terkuak

540 75 1
                                    

Setelah beberapa bulan menduduki jabatan sebagai customer service, aku didaulat Pak Dino sebagai koordinator divisi keuangan. Kupikir hal ini tidak masalah karena aku bisa belajar hal baru lagi meski itu artinya targetku makin besar lagi dan aku kini menjadi pemimpin Miss Nike dalam divisi pelayanan (divisi keuangan dan pelayanan jadi satu, omong-omong). Sialnya, sejak aku menduduki jabatan sebagai koordinator divisi keuangan aku justru dihadapkan pada kebiasaan baru Pak Dino yang menurutku cukup merugikan.

Asal tahu saja, sejak Pak Dino menikah tingkahnya jadi berubah. Yah, selain hobinya berkata tidak-ingin-diganggu di ruangannya saat sang istri datang ke kantor— aku tidak peduli mereka melakukan apa di dalam sana— Pak Dino juga rajin sekali kasbon padahal pendapatan LPBIK sedang seret— seperti yang pernah kujelaskan sebelumnya LPBIK memang punya masa paceklik tiap tahunnya.

"Anu, Miss, saya, kan, ngekos. Terus tau sendirilah uang gaji di sini cuma berapa. Nggak cukup buat kebutuhan sehari-hari," dalihnya waktu itu.

Dia memang cukup sering mengeluh soal gaji di LPBIK yang menurutku agak sedikit berlebihan. Pasalnya, harusnya dia sudah tahu sejak awal LPBIK menawarkan gaji berapa padanya dengan posisinya sekarang ini. Kalau menurutnya itu kurang kenapa dia tidak mundur saja dan langsung pergi beralih ke perusahaan lain yang bisa memberinya gaji lebih? Kalau tidak salah dia pernah bercerita dia pernah bekerja sebagai MT di sebuah perusahaan dengan gaji lumayan di ibu kota. Kenapa dia justru pindah ke kota kecil dengan gaji yang katanya tidak memuaskan dan tidak cukup untuk hidupnya sehari-hari? Kalau tidak salah (lagi) dia juga pernah membanggakan dirinya yang lulusan universitas terbaik di Jawa Tengah dan berpengalaman di lomba ABCDE. Tapi dia berdalih bahwa dia mengincar jabatan manajer untuk posisi yang lebih baik lagi ketika melamar di perusahaan baru.

Ini sih namanya bajing loncat, batinku saat dia mengemukakan alasannya.

Yah, memang wajar sih setiap orang menginginkan posisi dan gaji yang lebih baik lagi ketika bekerja tapi bukan berarti jadi rolling stone. Orang tipe begini biasanya keburu dipecat sama HRD karena dianggap tidak memiliki dedikasi. Sayangnya, LPBIK tidak punya tim HRD.

"Tapi, Pak, ini baru ada pendapatan setelah minggu kedua. Itu pun cuma dua juta. Padahal udah mau deket akhir bulan. Gimana buat bayaran listrik, gaji, telepon, dan sebagainya?" Aku juga bersikukuh tidak bersedia memberikan kasbon.

Oh ya, di LPBIK, koordinator divisi keuangan— dalam hal ini, aku— punya kuasa untuk mengatur pengeluaran dan pemasukan perusahaan termasuk memberi izin boleh tidaknya seorang karyawan kasbon. Seingatku, gaji bulan kemarin belum lama dibayarkan. Itu pun gaji Pak Dino yang paling banyak di antara kami. Baru saja tengah bulan masa gaji sudah habis? Kalau pun untuk menafkahi istrinya apakah semua gajinya benar-benar dihabiskan? Kenapa tidak dibicarakan lagi mengenai hal ini, toh, istrinya juga masih bekerja?

"Ayolah, Miss. Saya lagi butuh banget nih. Saya kalau nggak kepepet juga nggak bakalan kasbon kok," desaknya dengan intonasi agak sedikit meninggi.

Wah, ngelunjak ya. Situ yang butuh tapi bertindak seolah jadi korban ketidakadilan, batinku lagi.

"Saya tau, Pak, mungkin Bapak butuh tapi LPBIK juga lagi pailit. Yang butuh gaji bukan hanya Bapak saja, kan?" tegasku. "Di sini ada saya, Miss Titi, Miss Nike, Miss Neina, Mr. Ganjar, Mr. Tizar, dan Bang Husni. Semuanya juga bekerja untuk digaji, Pak, bukan buat jadi sukarelawan," pukulku telak tapi memang dasarnya tidak tahu malu atau apa Pak Dino tetap memaksa untuk kasbon.

"Oke. Tapi sekali ini saja. Saya nggak mau sampai listrik di LPBIK dicabut karena kita telat bayar tagihan," kecamku.

"Tenang aja, Miss. Akhir bulan pasti kita dapet siswa baru. Positive thinking ajalah," ucapnya enteng.

Namun, hingga minggu ketiga keempat, kami masih sulit mendapatkan siswa ajar baru yang mendaftar. Tentu saja hal itu membuatku ketar-ketir. Di kepalaku sudah terbayang banyak pertanyaan. Bagaimana nanti caranya ku harus membayar gaji karyawan? Bagaimana nanti caranya aku harus membayar sewa gedung? Bagaimana nanti caranya aku harus membayar royalti ke owner? Serta bagaimana-nanti-caranya lainnya yang membuatku pusing tujuh keliling.

Alhasil, laporan bulan itu dihiasi dengan banyak evaluasi dari kantor pusat. Bagaimana bisa LPBIK Cabang Pekalongan tidak mampu membayar gaji karyawannya?— ya, gaji kami terpaksa ditangguhkan hingga pendapatan LPBIK stabil yang artinya dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Bagaimana bisa LPBIK Cabang Pekalongan tidak membayar royalti ke owner? Laporan LPBIK Cabang Pekalongan bulan itu benar-benar cacat. Aku sebagai koordinator divisi keuangan yang membawahi divisi pelayanan tentu saja merasa gagal dan malu karena tidak berhasil menggaet siswa ajar. Padahal kami sudah melakukan berbagai cara termasuk mengikuti saran setengah gila dari Pak Dino untuk membuat promosi diskon 100% dengan syarat dan ketentuan berlaku (dalam hal ini customer akan dikenai placement test seperti biasa kemudian nilai hasil tes itulah yang akan dijadikan nilai diskon pembayaran kursus). Hasilnya, tetap saja hanya sedikit yang benar-benar mendaftar masuk. Kalau pun ada justru LPBIK merugi karena LPBIK tetap harus menggaji penuh para freelance— meski jumlah pengajar freelance sudah ditekan ternyata tetap tidak bisa mengurangi pengeluaran.

Bulan berikutnya keadaan LPBIK sudah mulai membaik tapi "kesehatan moral dan mental" Pak Dino yang justru memburuk. Sekali keinginannya kasbon dituruti, dia seolah tidak jera untuk meminta lagi dengan paksaan. Aku— yang memang pada dasarnya malas berdebat apalagi dengan orang semacam Pak Dino yang senang beradu argumen— akhirnya mengabulkan lagi dan lagi.

"Mertuaku tuh lagi renovasi rumah, Miss. Aku nggak enak kalau nggak urunan. Omong-omong, makasih ya, Miss, diijinin kasbon lagi," kata Pak Dino yang membuatku ingin sekali menggetok kepalanya.

Menurutku alasannya kali ini mengada-ada sekali. Titi pun ternyata beranggapan demikian.

"Halah, renovasi rumah apaan? Logis nggak sih mertua yang renovasi rumah tapi minta duit ke menantu? Bukannya istrinya kerja? Kenapa nggak minta duit ke istrinya Pak Dino yang notabene anak kandung mertuanya? Terus, kalau nggak salah, bukannya kakak iparnya Pak Dino itu kerja di kementerian ya? Harusnya banyak duit lah itu. Kenapa nggak minta bantuan anaknya yang itu aja?" kecam Titi gemas.

Seolah belum cukup dengan drama kasbon, Pak Dino justru makin merambah ke "kejahatan" lain.

"Miss, ini pendapatan masuk semua ke laporan ya?" tanyanya suatu hari ketika aku sedang menyusun laporan intern cabang LPBIK ke dalam sebuah buku jurnal.

"Iya, Pak. Kenapa?" tanyaku tanpa curiga.

"Gini. Selama ini, kan, kita selalu jujur ngasih semuanya ke pusat. Nah, sekali-kali jangan lempeng begitu," cetus Pak Dino yang membuatku sedikit bingung awalnya.

"Nih, misal ini nih." Dia mengambil buku jurnal yang sedang kutulisi. "Ini, kan, yang ikut TOEFL Preparation lima orang nih. Yang kita daftarin cuma satu atau dua orang aja. Sisanya kita ambil sendiri."

Aku mengernyitkan dahi, heran. "Lho, TOEFL Preparation, kan, pasti butuh sertifikat, Pak. Kalau nama pendaftar nggak didaftarkan nanti gimana cetak sertifikatnya?"

"Sertifikat tetep dicetak aja nggak papa. Toh, sistemnya masih manual, kan, bukan digital? Nomor sertifikat, kan, nggak terdaftar di situs karena emang LPBIK belum punya. Jadi masih bisa diakali lah. Nah, nanti uangnya itu bisa buat nutupin utang LPBIK yang bulan-bulan sebelumnya, Miss. Gimana? Kamu mau gajimu dibayar, kan?" kata Pak Dino yang memberi efek persuasi terutama di kalimat terakhirnya.

Iyalah, siapa juga yang mau bekerja secara gratisan? Memangnya aku yayasan sosial?

Alhasil, tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakan usul Pak Dino itu tanpa memikirkan efeknya bagi penilaian divisiku dan bagiku secara pribadi.

Bodohnya aku yang naif ini.

***

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang