Knowing truth is somewhat bitter yet relieving when you know the reason behind.
(Miss Sam)*
Aku dan Ricky sempat bertukar nomor WhatsApp setelah pertemuan pertama kami. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk bisa saling akrab. Tak jarang kami saling mengomentari status satu sama lain atau berkirim pesan lewat aplikasi perpesanan instan berlogo gagang telepon dengan latar belakang warna hijau itu. Ketika di tempat kursus pun Ricky cukup terbuka akan banyak hal. Kami sering mengobrol membicarakan hal-hal remeh- seperti lagu favorit, penyanyi favorit, makanan favorit, bahkan swearing words kekinian- sampai curhat masalah pribadi.
Aku jadi tahu bahwa Ricky anak tunggal dari orang tua yang memiliki bisnis batik cukup sukses di kotaku. Dia juga tidak sekolah. Maksudnya dia tidak sekolah di sekolah biasa tapi memilih kejar paket.
"And why did you choose the school?" tanyaku pada Ricky di suatu kesempatan saat kelas Conversation.
"I have social relation problems-"
"Like?" potongku.
"I can't easily mingle. I can't obey rules. I don't like regulations. Sort of them," jawabnya santai.
Aku mengangguk paham. "So you think that entering a particular school makes you better?"
Ricky memutar bola matanya, berpikir. "For me, yes, it is. I still don't have friends there but I think I feel more comfortable," katanya kemudian.
"And why can't you make friends?"
"Miss Sam tau, kan, kejar paket itu kayak apa?" tanyanya.
Aku mengedikkan bahu. "No, I don't. Do you mind if you explain it to me? How is it?"
"Yah, di kejar paket itu isinya macem-macem, Miss. Ada yang ibu-ibu udah punya anak-cucu, bapak-bapak tua, pokoknya orang-orang yang usianya di atasku dan mereka udah pernah putus sekolah sebelumnya karena satu dan lain hal. Kita belajar juga yang penting dateng ke kelas, absen, dapet materi, ujian juga yang penting ngerjain, entah bener dikoreksi atau nggak tapi somehow kita bisa lulus."
Aku mengangguk-angguk saja.
"And your parents agreed to send you to the school due to those reasons, social relation problems you've talked before?" tanyaku sambil menopang dagu.
Ricky mengangguk. "Yes. They encourage me to study there because they think it's better for me."
Aku mengerutkan kening. "Better?"
Ricky mengangguk lagi. Namun, di wajahnya tampak raut kebingungan karena melihat ekspresiku yang tampak aneh.
"I'm not blaming your parents. I don't have rights for that. I just- ok, this is my two cents. Remember, my two cents. If only I had children, I wouldn't send them in such school even when they begged for. You know why? Because those things that you called social relation problems are problems. If you don't solve them, it won't be finished." Aku menuturkan pandanganku hati-hati.
"Kalau kamu punya masalah dalam berkomunikasi, berteman, terus kamu nggak bisa mematuhi aturan, dan sebagainya you have to fix them! Kenapa? Karena hidup selalu penuh dengan aturan. Aturan-aturan itu dibuat bukan tanpa alasan. Bayangkan kalau kamu nggak suka diatur terus kamu akhirnya berbuat semaunya. Bayangkan kalau orang se-Indonesia raya atau bahkan orang sedunia yang begitu. Can you imagine?" lanjutku.
"When your parents send you to the school, it means they make you escape from the life problems. Membawamu ke sekolah itu bukanlah sebuah solusi melainkan pelarian," imbuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...