"Jadi ... kita mau kemana?" tanya Ganjar ketika aku sudah duduk di atas jok Vario merah di belakangnya.
"Kemana ya?"
Alih-alih menjawab, aku juga melontarkan pertanyaan yang entah akan dijawab siapa. Selama ini peta dalam kepalaku hanya merekam perjalanan ke Bank Nusantara, rental film dan komik, LPBIK, serta beberapa pusat perbelanjaan. Sisanya kasur, kamar tidur, dan rak buku dalam kamarku. Aku nyaris tidak pernah keluar rumah untuk berjalan-jalan di luar acara nge-mall karena memang hanya itulah tempat yang familiar di otakku. Otakku selalu otomatis memilih tempat yang dekat dengan rumah karena aku jarang pergi bersama teman. Aku lebih sering pergi sendiri sehingga aku tidak mungkin pergi terlalu jauh sebab aku takut tersesat.
"Yah, kok malah balik nanya? Terus nanti yang jawab pertanyaan saya siapa dong, Miss?" lirih Ganjar lesu sedangkan aku hanya bisa terkekeh.
"Ya, abisnya aku juga nggak pernah pergi kemana-mana, Mister. Aku ini anak kuper."
"Masa sih?" tanyanya tak percaya. "Miss Sam kayak bukan tipe orang kuper kok. Kalo ditanya tau tempat ini atau tempat itu bisa jawab semua gitu."
Aku nyengir sambil memperlihatkan ponselku. "Sekarang, kan, jaman udah canggih, Mister. Apa aja bisa dicari di mesin pencarian."
"Oh, iya ya. Hape saya belum smart sih," kekehnya.
"Nggak papa yang penting orangnya smart," pujiku sehingga dia tersipu.
"Ng, gini aja deh. Ada tempat yang mau dikunjungi nggak? Nanti ke sana aja." Ganjar akhirnya memberi jalan keluar.
Aku berpikir beberapa saat lalu teringat obsesiku saat outing class beberapa waktu lalu.
"Pagilaran," teriakku.
"Hah?" Ganjar kaget oleh suara kerasku.
"Aku mau ke Pagilaran. Aku pengen liat kebun teh," ucapku yakin.
"Rutenya gimana? Saya nggak tau rute ke arah sana lho, Miss."
Aku lalu membuka Google Maps dan mengetik Pagilaran sebagai kata kuncinya di sana. Aku memberikan hasil pencarian pada Ganjar agar dipelajarinya karena dia yang jadi sopir. Setelah dia memberikan tanda mengerti dengan anggukan, aku menyimpan kembali ponselku ke dalam tas ransel kecil bergambar kucing yang kugendong di punggungku.
"Ayo, kita berangkat!" teriakku antusias.
Perjalanan kami ternyata lumayan jauh juga. Jalanan yang kami tempuh juga cukup menanjak karena Pagilaran berada pada dataran tinggi- ya jelas lah, mana ada kebun teh di dataran rendah. Untungnya pemandangan alam di sepanjang jalan menuju ke sana cukup menyejukkan mata sehingga aku tidak merasa bosan. Namun, aku tetap menyumpahi motor yang dibawa Ganjar. Motor matic itu punya boncengan yang cukup tinggi sehingga aku kesulitan menaikinya. Parahnya, tiap kali Ganjar mengerem, tubuhku pasti ikut maju sehingga tubuhku makin lama makin menempel ke tubuh Ganjar. Aku, kan, jadi tidak nyaman apalagi kami belum punya status sebagai pacar.
Semoga aja begitu di Pagilaran aku ditembak sebagai bentuk tanggung jawabnya karena udah bikin dudukku melorot mulu, doaku dalam hati sambil tersenyum geli.
Kami sampai setelah menempuh perjalanan selama 1.5 jam- atau malah lebih karena kami sempat tersesat. Kami mengunjungi sebuah kebun teh yang tidak jauh dari kebun budidaya bunga krisan- kalau dalam bahasa Indonesia disebut bunga seruni. Cukup banyak orang berkunjung ke sana rupanya. Beberapa di antara mereka juga membeli bibit bunga krisan untuk ditanam di rumah. Seorang wanita paruh baya, yang sepertinya penjaga kebun merangkap penjual bunga, menawariku untuk membeli setangkai bunga krisan yang warnanya cerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...