Aku benar-benar naif. Aku tidak memperkirakan efek "kejahatan" yang diinisiasi oleh Pak Dino itu. Aku mengikuti saja saran Pak Dino untuk menggelapkan uang pembayaran dengan polosnya.
Toh, ini nantinya untuk kepentingan kesejahteraan para karyawan LPBIK juga yang gajinya sempat ditunda. Semakin banyak yang digelapkan semakin cepet pula gaji kita dibayar, kan? pikirku waktu itu.
Padahal saat itu aku dan Miss Nike berhasil mendapatkan banyak siswa ajar TOEFL Preparation dan Conversation yang kalau ditotal bisa puluhan juta jumlah pembayarannya. Hati nuraniku pun sebenarnya sudah menegur ini karena merasa ada yang salah tapi entah kenapa di sisi yang lain aku merasa langkah yang ditawarkan Pak Dino ini terasa benar.
"Kamu jangan mau dijadiin sapi perah sama perusahaan dong, Miss. Kamu ngerasa nggak selama ini kita kerja mati-matian nyari siswa ajar tapi uang itu habis cuma buat ngasih royalti ke owner dan bayar sewa gedung? Coba kalau kita kerja buat kita sendiri doang pasti duit segitu cukup banget, lebih malah, buat biaya operasional sebulan. Gaji kamu pun mungkin nggak akan cuma segitu. Gaji temen-temen yang lain juga pasti naik," hasut Pak Dino yang kupercayai sebagai nubuat.
Iya, aku juga kadang merasa kalau sistem kerja di LPBIK memang agak sedikit "unik". Kami harus mati-matian mencari siswa ajar demi bisa mendapat gaji penuh. Tidak dapat siswa ajar, tidak gajian. Tidak seperti saat aku bekerja di Bank Nusantara dulu. Setiap bulan aku tidak perlu khawatir aku akan gajian atau tidak karena aku pasti digaji dengan jumlah yang sesuai dengan kontrak setiap bulan, entah itu aku kerja malas-malasan atau kerja dengan penuh niat.
Namun, di bulan berikutnya, setelah laporan bulanan dikirim ke pusat, LPBIK Cabang Pekalongan kena teguran lagi. Rapor merah menandai kinerjaku dan divisiku.
"Divisi keuangan dan pelayanan nggak perform lagi bulan ini," kata Pak Dino saat briefing sambil membacakan hasil evaluasi yang ada di ponselnya. Dia mungkin mendapat hasil evaluasi itu melalui pesan grup manajer LPBIK.
"T-tapi, kan, bulan kemarin itu kita sebenernya memang udah dapet banyak siswa ajar, Pak, cuma hasilnya nggak dilaporkan karena buat bayar utang gaji," sanggahku. "Kita dapet sepuluh atau lebih, kan, ya, Miss?" tanyaku pada Miss Nike untuk mengkonfirmasi. Miss Nike mengangguk.
"Lah, tapi memang utang gaji kita cukup banyak, kan, kemarin, Miss? Coba bayangin kalau kita nggak nilep duit pembayaran pasti kalian sampai sekarang nggak akan bisa gajian," dalih Pak Dino seolah tak mau disalahkan atas performa kerja divisiku.
Kami semua terdiam. Situasi yang serba salah. Benar-benar bagai memakan buah simalakama. Melaporkan semua pendapatan salah, tidak dilaporkan juga salah. Tidak ada yang bisa membelaku, pun tidak ada yang bisa menyalahkanku. Tidak ada yang bisa protes dengan kebijakan Pak Dino karena memang di satu sisi benar tapi juga sekaligus salah di sisi lainnya.
"Kalau begitu harusnya Miss Sam dan Miss Nike cari siswa ajar lebih banyak lagi. Kalau bisa yang biayanya lumayan kayak TOEFL/IELTS Preparation atau kelas privat," sahut Pak Dino enteng.
Aku dan Miss Nike saling pandang.
Hah? Cari siswa ajar lebih banyak lagi, katanya? Yang TOEFL/IELTS Preparation atau kelas privat? Dia pikir memangnya mendapat siswa ajar kelas-kelas itu sepuluh orang dalam sebulan tidak membutuhkan usaha keras? Biaya yang kami tawarkan untuk kelas-kelas itu cukup mahal untuk ukuran kota kecil seperti Pekalongan. Sepuluh saja sudah bagus bagaimana lebih? batinku menjerit.
"Cari siswa ajar itu memang tugasnya CS sama divisi keuangan, kan?" tambah Pak Dino masih santai tanpa berempati dengan keadaanku.
Aku hanya menghela napas panjang sedangkan Miss Nike hanya diam menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...