11 - Pacaran Itu Kayak Gimana Sih?

903 119 2
                                    

"Miss Sam, aku boleh tanya nggak?" tanya Anin saat aku sedang mengoreksi latihan soal yang sudah dikerjakannya.

Aku meliriknya sebentar lalu bertanya balik, "Mau tanya apa emangnya?"

"Ng, nggak jadi deh. Ntar Miss Sam ngetawain aku," katanya lalu malah asyik memainkan Tebak Gambar di ponselnya.

"Yeee, malah nggak jadi. Batal ngomong itu bikin orang penasaran. Nah, bikin orang penasaran, apalagi yang lebih tua, itu dosa!" tegasku yang sebenarnya bercanda.

"Masa sih, Miss?" tanya Anin tak percaya.

"Nggak percaya ya udah," timpalku tak acuh.

Aku tidak memaksa Anin untuk meneruskan perkataannya dan malah kembali berkonsentrasi melanjutkan kegiatan mengoreksi hasil latihan soal Anin. Aku menekan dan melepas tuas pada pulpen warna-warni milikku untuk menghilangkan kesunyian di dalam kelas yang lengang ini selain untuk membubuhkan tanda atau catatan di atas kertas latihan juga. Aku bisa melihat dari ekor mataku kalau Anin tampak gelisah meski matanya tertuju pada ponselnya.

"Ng, Miss Sam— Eh, tapi Miss Sam janji dulu nggak bakal ngetawain kalau aku nanya ini," pintanya yang membuatku malah jadi ingin tertawa. Lah, bagaimana aku bisa menertawakan sesuatu kalau aku bahkan tidak tahu apakah sesuatu itu? Kalau itu bukan lelucon bagaimana aku akan tertawa?

"Iya, iya, janji." Namun, tak urung aku berjanji juga meski tidak tahu pada akhirnya aku akan tertawa atau tidak.

"Miss. Miss Sam pernah pacaran nggak?" tanya Anin.

"Ng? Pernah. Kenapa? Kamu udah punya pacar?"

"Dih, bukan!" tampiknya agak terlalu cepat sehingga aku curiga dia justru sedang berbohong.

"Yang bener?"

"Ih, beneran, Miss. Aku nggak boleh pacaran. Dilarang sama bapak. Aku emang nggak punya pacar makanya aku penasaran gimana rasanya punya pacar. Asyik nggak sih atau gimana gitu? Soalnya temen-temenku banyak yang udah punya pacar, Miss. Apa punya pacar itu bisa bikin bahagia?" gumam Anin.

Aku tersenyum dan benar-benar teralihkan sepenuhnya dari lembaran kertas yang sedang kukoreksi. 

"Oh, temen-temen kamu udah banyak yang punya pacar?"

Anin mengangguk. "Udah, Miss. Tiap aku udah nyampe sekolah aja nih temen-temenku mesti pada mojok di kelas atau di sudut-sudut sekolah gitu berduaan sama pacarnya. Kadang sambil pegangan tangan, kadang sambil pukul-pukulan juga. Pokoknya mesra gitu deh, Miss."

Melihatku tak mengatakan apa pun, Anin melanjutkan. "Terus tau Hanna nggak, Miss?"

Keningku berkerut. "Hanna siapa?" tanyaku.

"Hanna yang les bareng Miss Titi itu lho, yang rambutnya panjang, yang anaknya pake kacamata ..."

"Oh, iya, iya. Hanna yang itu. Miss inget. Kenapa gitu?" Aku kemudian teringat sosok seorang remaja perempuan seumuran Anin dengan tubuh bongsor yang diajar Titi.

"Dia juga udah punya pacar, Miss. Nah, pacarnya itu satu bimbel gitu sama Hanna bahkan satu kelas tapi mereka nggak satu sekolah. Mereka dulu kenal gara-gara ketemu di bimbel. Terus, tau nggak, Hanna tadi cerita sama aku kalo dia abis dicium sama pacarnya."

"Oh ya?" pekikku.

Wah, suatu hal yang sangat berani. Maksudnya, waktu aku masih SMP dulu jangankan dicium, pegangan tangan dengan lawan jenis saja rasanya sudah gemetar. Melihat gebetan dari jauh saja rasanya sudah bahagia bukan kepalang. Kalau pun punya pacar pasti malah rasa canggung yang ada karena sama-sama malu. Anak zaman sekarang malah sudah berani main cium di usia yang masih belia.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang