Aku mendesah lega sekaligus lelah begitu keluar dari toilet. Lega karena akhirnya aku berhasil buang hajat. Lelah karena ini entah sudah keberapa kalinya aku buang air kecil. Wanita yang sedang hamil tua memang seharusnya tidak bekerja di ruangan ber-AC. Please deh, tanpa AC saja aku sudah sering bolak-balik ke kamar kecil untuk buang air apalagi ditambah AC yang menguarkan hawa dingin. Dorongan untuk pipis senantiasa muncul setiap saat. Masalahnya kakiku bahkan sudah lelah untuk menopang tubuhku yang berbadan dua ini jadi kebelet kencing terus-menerus itu sungguh suatu siksaan. Mana jarak toilet dan ruang resepsionis lumayan jauh pula.
Kala aku berjalan di koridor menuju ruang resepsionis, aku mendengar suara orang sedang bercakap-cakap.
"Iya, Mas, jadi seperti itu." Ternyata itu suara Miss Rayya yang sedang melayani seorang customer.
Customer yang datang adalah seorang pria. Mungkin usianya sekitaran usia Miss Rayya, 22 atau 23 tahun lah. Perawakannya sedang, tidak bisa dibilang tinggi tidak bisa dibilang pendek juga. Kulitnya cenderung gelap, cocok kalau misalnya dia memiliki pekerjaan yang mengharuskannya bekerja di luar ruangan karena memiliki kandungan melanin yang tinggi— yah, meskipun aku tidak yakin dia sudah bekerja atau tidak. Rambutnya dicukur khas anak muda jaman sekarang. Pakaian yang dikenakannya saat itu celana jins hitam dengan kaos polos putih yang dibalut jaket baseball warna biru muda dipadu dengan sneakers biru tua.
"Iya, kan, Miss Sam?" Tiba-tiba Miss Rayya melontarkan pertanyaan padaku yang membuatku gelagapan karena aku tidak mendengar kalimat tanyanya sebelumnya.
Aku memberi tatapan bingung pada Miss Rayya. Untungnya Miss Rayya paham. Dia mengulang pertanyaannya.
"Kelas Conversation di sini ada yang reguler dan privat, kan?"
"Oh, iya," jawabku cepat.
Si customer pria menatapku kemudian bertanya, "Itu sama-sama 24 pertemuan, Kak?"
"Iya," sahutku lagi, "bedanya kalau kelas reguler sudah ditentukan jadwal kursusnya dari kami tapi kalau privat boleh milih sendiri. Kelas reguler maksimal pertemuan cuma dua kali seminggu, kalau privat bisa tiga kali seminggu. Kelas reguler juga harus nunggu sekitar dua mingguan untuk buka kelasnya karena kami harus mengumpulkan siswa ajar dengan level yang sama," terangku.
Si customer pria mengangguk sambil ber-oh ria.
"Masnya kerja atau kuliah?" tanyaku basa-basi karena si customer pria tak kunjung bertanya lagi.
"Oh, saya tadinya kerja, Kak, tapi sekarang nggak lagi," jawabnya.
"Lho, kenapa?"
"Saya tadinya kerja di perusahaan start up gitu di Jakarta. Ada lah ya nggak usah saya sebutin. Sebenernya bagus sih perusahaannya, gajinya juga terhitung gede. Cuma tiba-tiba saya kepikiran pengen kuliah lagi. Akhirnya saya mutusin buat berhenti aja dan balik lagi ke Pekalongan," ceritanya.
"Lah, sayang dong kalau gitu, Mas."
"Ah, nggak juga sih, Kak. Saya sebenernya kerja cuma buat cari pengalaman aja bukan cari duit. Saya nggak terlalu butuh uang banget kok. Uang itu bonus. Tujuan ke sekian buat saya," katanya.
Aku mengangguk-angguk. Mungkin dia anak sultan. Buktinya dia kerja buat cari pengalaman. Kalau dia dari kalangan rakyat jelata sepertiku pasti mencari kerja adalah untuk mencari uang sementara pengalaman adalah bonus. Bonus buat dijadikan bahan cerita. Seperti yang aku lakukan. Baru menyerah dan berhenti kerja kalau sudah merasa diperah.
"Berarti mau lanjut S-2 ya?" tanyaku lagi.
"Iya, Kak, S-2. Niatnya sih ke Semarang aja lanjutnya, yang deket. Dulu juga kuliah di Semarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Course (TAMAT)
General FictionSebelas bulan selepas pengunduran dirinya dari PT. Bank Nusantara, Samira akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar bahasa Inggris. Pengalaman horor dengan makhluk penghuni tempat kursus hingga pengalaman "horor" den...