1 - New Job, New Life

3.5K 273 1
                                    

Genap setahun sudah (lebih tepatnya 11 bulan) aku menganggur sejak pengunduran diriku dari PT. Bank Nusantara. Selama itu pula tak terhitung sudah berapa kali aku mendatangi bursa kerja, mengirim lamaran kerja, dan ikut wawancara kerja. Beberapa kali aku mencoba melamar di bank-bank lain dengan posisi frontliner tapi ternyata malah selalu berakhir dengan penolakan padahal jelas-jelas dalam CV-ku tertulis aku pernah bekerja di Bank Nusantara selama tiga tahun. Mungkin pertimbangan umur yang sudah tak lagi muda membuat mereka tak bisa merekrutku— mereka tidak tahu saja kalau jiwaku masih muda. Ada yang bahkan terang-terangan menanyakan kesediaanku melepas jilbab demi bisa bekerja di perusahaan tempatku melamar kerja. Tentu saja permintaan itu kutolak. Kalau dulu aku berjilbab tanpa dipaksa orang lain, aku juga tidak ingin melepas jilbab atas suruhan orang lain. Lagipula memangnya apa hubungannya pekerjaan dengan jilbab? Apakah  jilbab membuat perempuan jadi tidak cantik sehingga tidak bisa bekerja di bagian front office? Apakah jilbab membuat perempuan jadi tidak gesit ketika bekerja? Apakah perempuan berjilbab dianggap akan mendoktrin para pekerja lain dengan agama yang dianutnya yang dikenal orang non muslim sebagai radikal dan intoleran itu? Apakah perempuan berjilbab akan menyusupi perusahaan tempatnya bekerja dengan dogma-dogma agamanya?

Namun, akhirnya setelah mengikuti entah bursa kerja yang keberapa kalinya, aku berhasil mendapat panggilan kerja di sebuah tempat kursus bahasa Inggris dan komputer bernama LPBIK yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Meski sebetulnya aku tidak banyak berharap diterima karena aku yakin penghasilan yang ditawarkan tak mungkin sampai setengah apalagi lebih dari penghasilanku di Bank Nusantara.

"Lho, ternyata kamu kerja di sini, Ti?" Aku kaget ketika mengetahui bahwa salah satu pegawai di tempat kursus itu adalah Titi, salah satu teman SMA-ku.

Titi tersenyum kalem. Tentu saja dia tidak tampak kaget sepertiku karena dialah yang akan mewawancaraiku dan mengetesku bersama beberapa pelamar kerja yang lain. Dia pasti sudah melihat profilku di lamaran kerja yang kubuat waktu itu dan sudah tahu bahwa itu aku, mantan teman sekelasnya selama dua tahun di SMA.

"Hai, Mir. Ketemu lagi kita," katanya.

Setelah itu, aku dan beberapa pelamar kerja lain yang berjumlah dua orang (keduanya juga perempuan) diinstruksikan untuk menunggu di ruang resepsionis. Kami nantinya akan dipanggil satu per satu untuk tes mengajar dan wawancara. Hanya butuh waktu sekitar satu jam sampai akhirnya semua sesi tes selesai.

"Terima kasih. Terima kasih," ucap Titi pada dua kandidat lain sambil menyalami mereka satu per satu ketika mereka berpamitan pulang begitu seluruh rangkaian tes selesai.

"Ngobrol dulu yuk, Mir. Udah lama juga, kan, kita nggak ketemu." Titi menggamit lenganku dan mengajakku masuk ke dalam salah satu ruang di LPBIK yang sepertinya merupakan ruang staf. Aku agak heran juga karena aku, kan, bukan bagian dari tempat kursus ini tapi kenapa dibawa ke dalam ruang "pribadi" milik kantor.

"Tapi kayaknya nggak lama-lama banget juga deh, Ti, kita nggak ketemu. Pas aku masih di Bank Nusantara, kan, aku masih beberapa kali order barang ke kamu," sanggahku.

"Oh, iya ya." Titi nyengir.

Titi memang punya pekerjaan sampingan berupa berjualan barang secara daring. Barang apa saja dia jual dari kosmetik Korea, pakaian impor, pakaian dalam (yang juga impor), wallpaper, tas, dompet, aksesoris, hingga buah-buahan segar dan tanaman hias.

"Ng, gini, Mir," katanya membuka percakapan yang sepertinya menuju ke arah serius. "Berdasarkan penilaianku, di antara tiga kandidat yang mendaftar posisi yang sama di sini, cuma kamulah yang paling baik."

"Maksudnya?" Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini bermuara.

"Jadi intinya kamu yang diterima, Mir," ucapnya.

The Course (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang